Saturday, December 23, 2023

MAKALAH TENTANG MASYARAKAT MADANI DAN PROBLEMATIKANYA

 MAKALAH TENTANG MASYARAKAT MADANI DAN PROBLEMATIKANYA


BAB I

PENDAHULUAN

 

A.  Latar Belakang Masalah

Cita-cita untuk mewujudkan masyarakat madani meniscayakan suatu upaya yang serius dan sistematis. Masyarakat madani bukan sekedar sistem, tetapi juga merupakan proses. Oleh karena itu, mewujudkan masyarakat madani memerlukan proses yang sistematis. Dan salah satu proses yang paling strategis ialah melalui pendidikan.

Masyarakat madani merupakan konsep yang kompleks, karena di dalamnya terkandung konsep relasi-relasi sosial yang beradab yang hendak ditransformasikan dalam kehidupan sosial sehari-hari didalamnya terdapat konsep masyarakat, hukum, demokrasi, pemerintah dan kenegaraan, keterbukaan, perubahan sosial, kebudayaaan, dan lain-lain dalam relasi-relasi dan struktur sosial. Kompleksitas konsep masyarakat madani ini perlu ditransformasikan dalam kehidupan masyarakat melalui pendidikan yang sistematis.

Salah satu cara paling strategis untuk mentransformasikan konsep masyarakat madani secara aplikatif dalam dinamika kehidupan sosial ialah menyelenggarakan pendidikan kewarganegaraan (civic education). Dalam konteks indonesia, sebuah negara yang sedang beranjak menuju demokrasi, pendidikan kewarganegaraan sangat penting diberikan kepada warga masyarakat untuk memaknai dinamika perubahan sosial yang berkembang di negeri ini, baik dalam tingkat lokal, nasional, regional, dan global.

B. Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian masyarakat madani?

2.      Apa ciri-ciri masyarakat madani?

3.      Bagaimana konsep dan fungsi masyarakat madani?

4.      Apa saja prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat madani?

5.      Apa saja problematika masyarakat madani?

C.  Tujuan Penulisan

1.      Untuk mengetahui pengertian masyarakat madani.

2.      Untuk mengetahui ciri-ciri masyarakat madani.

3.      Untuk memahami konsep dan fungsi masyarakat madani.

4.      Untuk mengetahui prinsip-prinsip dan nilai-nilai dalam masyarakat madani.

5.      Untuk mengetahui problematika masyarakat madani.

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.  Pengertian Masyarakat Madani

Masyarakat madani adalah sebuah kelompok atau tatanan masyarakat yang berdiri secara mandiri di hadapan penguasa dan negara memiliki ruang publik ( publik sphere ) dalam mengemukakan pendapat adanya lembaga-lembaga mandiri yang dapat menyalurkan aspirasi dan kepentingan publik.[1] Sedangkan secara etimologis, mayarakat madani berasal dari dua kata, civil (bermakna: beradab, teratur) dan society (arti: masyarakat). Sehingga secara singkat, masyarakat madani dimaknai sebagai suatu masyarakat yang beradab. Dalam kaitannya dengan konsep kebersamaan hidup, maka “beradab” disini bertujuan untuk membangun, menjalani, dan mamaknai kehidupan.[2]

Lebih lanjut mengkaji tentang pengertian, maka beberapa ahli memberikan definisinya tentang masyarakat madani sebagai berikut:

1.    Zbigniew Rew, masyarakat madani merupakan suatu yang berkembang dari sejarah, yang mengandalkan ruang dimana individu dan perkumpulan tempat mereka bergabung bersaing satu sama lain guna mencapai nilai-nilai yang mereka yakini.

2.    Han-Sung Joo, masyarakat madani merupakan sebuah kerangka hukum yang melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu.

3.    Kim Sun Hyuk, masyarakat madani adalah suatu satuan yang terdiri dari kelompok-kelompok yang secara mandiri menghimpun dirinya dan gerakan-gerakan dalam masyarakat yang secara relative.

4.    Thomas Paine, masyrakat madani adalah ruang dimana warga dapat mengembangkan kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan kepentingannya secara bebas dan tanpa paksaan.

5.    Hegel, masyarakat madani merupakan kelompok subordinatif dari Negara.

Kesimpulan, masyarakat madani adalah sebuah kelompok atau tatanan masyarakat yang berdiri secara mandiri dihadapan penguasa dan Negara, yang memiliki ruang publik dalam mengemukakan pendapat, adanya lembaga-lembaga yang mandiri yang dapat mengeluarkan aspirasi dan kepentingan politik.[3]

 

B.     Ciri-ciri Masyarakat Madani

Ciri-ciri masyarakat madani antara lain:

1.      Menjunjung tinggi moralitas:

Ø  Kebebasan memeluk agama

Ø  Iman dan Takwa

Ø  Menjunjung tinggi kejujuran

Ø  Melaksanakan perintah Tuhan Yang Maha Esa

Ø  Menjauhi larangan tuhan Yang Maha Esa

2.      Adanya ruang publik yang bebas (free public sphere)

Ruang publik yang diartikan sebagai wilayah dimana masyarakat sebagai warga negara memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik, warga negara berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul, serta mempublikasikan informasi kepada publik.

3.      Demokrasi

Yaitu masyarakat dapat berlaku santun dalam pola hubungan interaksi dengan masyarakat sekitarnya dengan tidak mempertimbangkan suku, ras dan agama.

4.      Pluralisme

Yaitu keaadan masyarakat yang majemuk. Makna pluralisme  ada 2 yaitu:

a.       Sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang beranekaragam.

b.      Sikap tulus menerima kenyataan pluralisme sebagai nilai positif untuk membangun kebersamaan.

5.      Toleransi

Yaitu sikap saling menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh orang atau kelompok masyarakat lain.

6.      Keadilan Sosial (social Justice)

Yaitu suatu keadaan yang menunjukkan bahwa setiap anggota masyarakat madani menikmati hak-hak asasi manusia yang sama dan memiliki kesempatan yang sama pula.[4]

7.      Supremasi hukum

Yaitu upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali.

Dari beberapa ciri-ciri tersebut, dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah sebuah masyarakat yang demokratis, dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya, dimana pemerintahannya memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program-program pembangunan di wilayahnya.

C.    Konsep dan Fungsi Masyarakat Madani

a.    Konsep masyarakat madani:

1.      Sifat partisipatif

Yaitu masyarakat madani tidak akan menyerahkan seluruh nasibnya pada negara, tetapi mereka menyadari bahwa yang akan dominan menentukan masa depan mereka haruslah berasal dari diri sendiri. Negara bukanlah penentu aktivitas dan program-program kemajuan masyarakat ke depan, tetapi harus kekuatan masyarakatlah yang mewarnainya, sehingga apapun konsekuensi dari setiap kebijakan, program aksi atas nama negara selalu terdapat warna keinginan masyarakat madani di dalamnya. Dalam tataran praktis masyarakat madani bisa terlihat dalam setiap proses politik diberbagai bidang, yang akan dikeluarkan negara.

2.      Otonom

Yaitu selain sebagai masyarakat partisipatif, masyarakat madani juga memiliki karakter mandiri, yaitu dalam mengembangkan dirinya tidak tergantung dan menunggu“bantuan” negara. Masyarakat terbiasa dengan inisiatifnya, mereka mampu berinovasi sekaligus independen secara politik dan ekonomi. Meskipun mengakui pluralisme, masyarakat konsisten memanfaatkannya. Begitu pula secara ekonomi, masyarakat madani relatif mandiri mengembangkan aktivitasnya, dengan menghasilkan dan membiayai sendiri.

3.      Tidak bebas nilai

Yaitu seluruh komponen masyarakat madani memiliki keterikatan terhadap nilai-nilai, yang merupakan kesepakatan hasil musyawarah demokratis (bukan sekedar konsensus). Setiap anggota masyarakat, dalam melakukan aktivitasnya tidak terlepas dari nilai, yang akan memagari agar manifestasi kreativitas dan inovasinya berada dalam “kebaikan” dan tidak merugikan komponen masyarakat lainnya serta berimplikasi positif. Nilai yang dianut bisa bersumber dari agama dan digali dari tradisi yang kondusif.

4.      Bagian dari sitem dengan struktur non-dominatif (plural)

Yaitu meskipun eksistensinya yang partisipatif dan otonom terhadap kekuatan negara, namun masyarakat madani adalah bagian dari komponen-komponen negara. Di luar masyarakat madani, diakui keberadaan negara dan unsur-unsur masyarakat lainnya. Namun masyarakat madani mengakuinya, dengan syarat kekuatan-kekuatan yang berada diluar dirinya tidak mengembangkan interaksi dominatif, seperti tetap memegang prinsip kompetisi, non-privilege, dan tidak memaksa, yang intinya mengakui pluralisme sebagai satu dinamika yang dimaknai dan ditangai secara tepat.

5.      Termanifestasi dalam organisasi

Yaitu prinsip-prinsip organisasi dipegang oleh masyarakat madani, sebagai perwujudan identitasnya secara material. Artinya, masyarakat madani bukan merupakan individu-individu yang partisipatif dan otonom saja, tetapi terdiri dari sekumpulan individu warga negarayang tergabung dalam asosiasi-asosiasi yang memiliki tatananyang mampu menjamin anggotanya untuk mampu mengekspresikan diri, mengembangkan minat, saling tukarinformasi, memediasi perbedaan-perbedaan, dan menciptakanpola-pola hubungan yang stabil. Di samping itu, mereka juga tertata dalam organisasi modern, yang mengembangkan nilai-nilainya sendiri secara konsisten.[5]

b.   Fungsi Masyarakat Madani dalam Negara

Adapun fungsi masyarakat madani dalam sebuah negara dapat dideskripsikan sebagai berikut:

1.  Meniadakan ketidakadilan dan kesenjangan dalam masyarakat.

2.  Melindungi kepentingan penduduk yang universal. Kepentingan tersebut meliputi elemen sipil, politik dan sosial. Sebagaimana digambarkan oleh Anthony Giddens; Pembaharuan masyarakat Madani mensyaratkan adanya kemitraan antara pemerintah dan masyarakat madani, pembaharuan komunitas dengan meningkatkan prakarsa local.

3.  Perlindungan ruang public local, pencegahan kejahatan dengan basis komunitas dan adanya keluarga yang demokratis (Anthony Giddens, 1999).

Dengan demikian, maka peradaban yang besar adalah peradaban yang menciptakan lingkungan yang cocok secara politik, social, ekonomi, cultural dan material dan mengantarkan seseorang bisa mengamalkan pesan perintah-perintah Tuhan dalam seluruh aktifitasnya, tanpa harus dirintangi oleh institusi-institusi masyarakat. Insitutsi-institusi tersebut tidak boleh menyebabkan adanya kontadiksi antara keyakinan agama dan perbuatan, atau menekan seseorang untuk menyimpang dari kewajiban-kewajibannya terhadap Tuhan sekalian alam.[6]

D.    Prinsip-Prinsip dan Nilai-nilai Masyarakat Madani

1.      Prinsip-prinsip masyarakat madani

Masyarakat Madani yang dicontohkan oleh Nabi pada hakekatnya adalah reformasi total terhadap masyarakat yang hanya mengenal supremasi kekuasaan pribadi seorang raja seperti yang selama itu menjadi pengertian umum tentang Negara. Meskipun secara eksplisit islam tidak berbicara tentang konsep politik, namun wawasan tentang demokrasi yang menjadi elemen dasar kehidupan politik masyarakat madani bisa ditemukan di dalamnya. Wawasan yang dimaksud tercermin dalam prinsip-prinsip Masyarakat Madani adalah; persamaan (equality), kebebasan, hak-hak asasi manusia serta prinsip musyawarah.

a.      Persamaan (equality)

Prinsip persamaan ini bisa ditemukan dalam suatu ide bahwa setiap orang tanpa memandang jenis kelamin, nasionalitas atau status semuanya adalah mahluk Tuhan. Dari sini kemudian dipahami bahwa islam memberikan dasar konsep tentang ekualitas. Berbeda dengan konsep ekualitas yang ada pada masyarakat Yunani. Ekualitas menurut orang-orang Yunani hanya berarti dalam tatanan hukum. Perbedaan antar konsep ekualitas Yunani Kuno dengan Islam terletak pada ide bahwa manusia lahir dan diciptakan sama dan menjadi tidak sama karena nilai sosial dan politik, yang merupakan institusi buatan manusia. Ekualitas yang terdapat dalam masyarakat Yunani merupakan sebuah atribut kemasyarakatan dan bukan perorangan, yang memperoleh ekualitasnya berdasarkan nilai kewarganegaraan dan bukan diperolehnya sejak lahir.

b.      Kebebasan dan Hak Asasi Manusia

Dasar ajaran mengenai kebebasan ini memperoleh momentum penting dalam sejarah umat manusia, yang selalu diwarnai oleh tindakan pembelengguan hak serta kebebasan manusia. Sejarah mencatat bahwa mereka yang menjadi sasaran ketidakadilan selalu berada pada pihak kaum yang lemah. Budak oleh tuannya, kaum miskin oleh mereka yang kaya, rakyat oleh penguasa, yang bodoh oleh yang pandai, yang miskin spiritual dan agama oleh kaum pendeta atau ulama. Dunia seakan-akan tidak pernah kosong dari tindakan semena-mena manusia terhadap sesamanya. Bukankah salah satu misi penting sosial Islam adalah membebaskan perbudakan. Selain wawasan kebebasan seperti yang dimaksudkan ini, sejak periode awal Islam beberapa pemikir Muslim juga mengembangkan doktrin ikhtiyar (pilihan atau kebebasan berkehendak).

c.       Prinsip Musyawarah

Al Qur’an tidak mentolelir adanya perbedaan antara yang satu dengan yang lain, laki atau wanita atas partisipasi yang sama dalam kehidupan bermasyarakat. Sejalan dengan pandangan ini, Al Qur’an menegaskan tentang prinsip syura (musyawarah) untuk mengatur proses pembuatan keputusan yang dilakukan masyarakat madani. Namun, selama berabad-abad, dikalangan kaum muslimin telah tumbuh kekliruan fatal dalam menafsirkan karakteristik syura ini. Mereka memahami bahwa syura sama dengan seorang penguasa berkonsultasi dengan orang-orang yang menurut pandangan mereka, yang sangat bijaksana dan tidak ada keharusan untuk mengimplementasikan nasehat mereka. Pandangan ini menurut Fazlur Rahman, jelas merusak makna syura itu sendiri.

Semasa pemerintahan Bani Umaiyah (41-132/661-750) tuntutan semacam ini tidak hanya terbatas pada perluasan penaklukan tetapi juga termasuk konsolidasi politik-militer ke dalam, karena sepanjang sejarah pemerintahan Umaiyah terjadi pemberontakan yang terus menerus. Pemerintah Umaiyah mengubah sistem pemerintahan yang dijalankan oleh para khalifah terdahulu dengan memaksakan logika politinya sendiri yang dalam beberapa hal tidak memberikan kesempatan adanya partisipasi masyarakat. Kalau ada musyawarah, maka institusi ini hanya dilakukan dengan mereka yang mendukung rejim penguasa. Kenyataannya musyawarah kemudian menjadi komoditas politik yang Al Qur’an sendiri melarangnya. Perkembangan inilah yang kemudian mewarnai hubungan antara penguasa dan rakyat, yakni hubungan yang pada dasarnya berasal dari atas ke bawah, yang sesungguhnya bertentangan dengan makna syura itu sendiri.

 

2.      Nilai-Nilai Masyarakat Madani

a.      Demokrasi

Dampak praktis kehidupan politik Islam pada abad pertengahan nampaknya masih sangat membekas dalam kehidupan bernegara di dunia Islam sekarang ini. Meskipun masyarakat muslim sekarang sudah terbatas dari dominasi asing (secara fisik) dan memiliki pemerintahannya sendiri, tetapi hampir semua mereka ini dihadapkan pada problem internal, yaitu “kurang demokratis”. Kecuali Turki, kata Bernard Lewis, semua negara yang mayoritas penduduk muslim dipimpin oleh variasi dari rejim otoriter, otokrasi, despotis dan sebangsanya. (Bernard Lewis, 1996). Dari kalangan sosiolog, dunia Islam digambarkan telah mengalami masa transisi dari masyarakat yang berorientasi pada ekonomi moneter dan masyarakat demokratis kepada sebuah masyarakat agraris dan rejim militer. Dua kecenderungan yang mencerminkan watak masyarakat yang berbeda, yang pertama lebih bersifat dinamis dan rasional sedang yang kedua menggambarkan sifat tertutup. Gambaran seperti yang disebutkan di atas itu seakan-akan mengasumsikan bahwa Islam tidak mengenal pemerintahan yang demokrasi. Meskipun benar diakui bahwa konsep demokrasi masih juga menjadi salah satu isu perdebatan antara yang setuju dan yang menentang.

Sejak kira-kira abada ke-19, beberapa pemimpin reformist Muslim menyatakan bahwa untuk mengimplementasikan Islam dalam sektor kehidupan umum, pemerintahan harus ditegakkan berdasarkan atas kehendak rakyat banyak. Salah satu alasan yang menjadi pertimbangan bagi kaum reformist seperti Jama al-Din al-Afghani adalah karena tanpa partisipasi rakyat di dalam pemerintahan, maka negara Islam tidak akan kuat untuk menghadapi tekanan Barat. Alasan yang lain, agar kemajuan internal bisa dicapai, karena tanpa kemajuan, negara Islam akan tetap lemah, maka partisipasi masyarakat sangat diperlukan.

b.      Pluralisme dan Toleransi

Istilah “Masyarakat Madani” dan civil society berasal dari dua sistem budaya yang berbeda. Masyarakat madani merujuk pada tradisi Arab-Islam sedang civil society tradisi barat non-Islam. Perbedaan ini bisa memberikan makna yang berbeda apabila dikaitkan dengan konteks asal istilah itu muncul. Oleh karena itu, pemaknaan lain diluar derivasi konteks asalnya akan  merusak makna aslinya. Ketidaksesuaian pemaknaan ini tidak hanya menimpa pada kelompok masyarakat yang menjadi sasaran aplikasi konsep tersebut tetapi juga para interpreter yang akan mengaplikasikannya. Hal lain yang berkaitan dengan perbedaan aplikasi kedua konsep masyarakat ini adalah bahwa civil society telah teruji secara terus menerus dalam tatanan kehidupan sosial politik barat hingga mencapai maknanya yang terakhir, yang turut membidani lahirnya peradaban Barat Modern.

c.       Hak-Hak Asasi Manusia (HAM)

Konsep masyarakat madani dewasa ini telah mengambil peran sebagai sebuah agenda cita-cita masyarakat yang modern untuk Indonesia baru. Sekalipun masyarakat madani telah tiada secara fakta saat ini,  tetapi hikmah-hikmahnya tetap masih menyinari aspek-aspek masyarakat modern. Maka dari itu jika kita menginginkan negara kita menuju masyarakat modern, membangun hak-hak asasi manusia secara universal. Kesadaran tentang hak-hak asasi menuntut kemampuan pribadi bersangkutan untuk menerima, meyakini dan menghayati sebagai bagian dari rasa makna dan tujuan (sense of meaning and purpose) hidup pribadinya.

Makna dan tujuan kemanusiaan perlu ditegaskan, bahwa rasa kemanusiaan haruslah berlandaskan rasa ketuhanan. Kemanusiaan sejati hanya terwujud jika dilandasi dengan rasa ketuhanan itu. Sebab rasa kemanusiaan ataupun antroposentrisme yang lepas dari rasa ketuhanan atau teosentrisme akan mudah terancam untuk tergelincir kepada praktek-praktek pemutlakan sesama manusia, sebagaimana pernah didemonstrasikan oleh eksperimen-eksperimen komunis. Dari sinilah kemudian hak asasi manusia sebagai elemen utama masyarakat madani harus didasarkan pada nilai dasar kemanusiaan universal itu.

d.      Keadilan Sosial

Dalam artian etimologis, menurut Nurcholish Madjid, ‘adil’ ialah “tengah” atau “pertengahan”, sehingga orang yang berkeadilan adalah orang yang sanggup berdiri di tengah tanpa memihak. Lebih lanjut Harun Nasution memotret keadilan dalam bahasa indonesia, hakekatnya berasal dari bahasa arab al-‘adl yang berarti keadaan yang terdapat dalam jiwa seseorang yang membuatnya menjadi lurus. Orang yang adil adalah orang yang tidak dipengaruhi hawa nafsunya, sehingga ia tidak menyimpang dari jalan lurus dan dengan demikian bersikap adil. Oleh karena itu al-‘adl mengandung arti menentukan hukum dengan benar dan adil, juga berarti mempertahankan hak yang benar. Sehingga berlaku adil artinya tidak menggunakan standar ganda. Katakanlah yang jahat itu jahat, juga sebutlah yang baik itu baik, sekalipun dipraktikkan oleh musuh-musuh kita. Maka adil dalam pandangan islam ialah setiap orang memperoleh apa yang menjadi haknya. Bukan setiap orang memperoleh bagian yang sama besarnya. Ini menunjukkan islam menghargai ikhtiar. Setiap orang  berhak beroleh kontra prestasi sebanding dengan prestasi yang diberikannya. Adapun prestasi adalah upaya-upaya yang wajar dalam sebah kompetisi yang jujur. Bukan hasil prestasi namanya jika beroleh sesuatu karena fasilitas.

Relevansi keadilan sosialnya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yakni sangatlah dibutuhkan mengingat, perasaan teringkari dan juga diperlakukan secara tidak adil akan dengan sendirinya membuka pintu bagi adanya “wawasan revolusioner”. Yakni suat wawasan yang karena terpusat kepada usha mengubah yang tidak adil menjadi adil yang akan berdampak kepada memudarnya disiplin karena setiap aturan akan dipandang hanya menguntungkan mereka yang sedang beruntung. Maka dengan perkara perwujudan cita-cita dasar kita untuk bernegara yaitu “dengan mewujudkan keadilan sosial” bagi seluruh rakyat Indonesia dipandang sangatlah signifikan.[7]

E.     Problematika Masyarakat Madani

Adapun yang masih menjadi kendala/ problematika dalam mewujudkan masyarakat madani di Indonesia diantaranya :

a.    Kualitas SDM yang belum memadai karena pendidikan yang belum merata.

b.    Masih rendahnya pendidikan politik masyarakat.

c.    Kondisi ekonomi nasional yang belum stabil pasca krisis moneter.

d.   Tingginya angkatan kerja yang belum terserap karena lapangan kerja yang terbatas.

e.    Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak dalam jumlah yang besar.

f.     Kondisi sosial politik yang belum pulih pasca reformasi.[8]

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

KESIMPULAN

1.    Masyarakat madani adalah sebuah kelompok atau tatanan masyarakat yang berdiri secara mandiri dihadapan penguasa dan Negara, yang memiliki ruang publik dalam mengemukakan pendapat, adanya lembaga-lembaga yang mandiri yang dapat mengeluarkan aspirasi dan kepentingan politik.

2.    Ciri-ciri masyarakat madani antara lain:

1.    Menjunjung tinggi moralitas

2.    Adanya ruang publik yang bebas (free public sphere)

3.    Demokrasi

4.    Pluralisme

5.    Toleransi

6.    Keadilan Sosial (social Justice)

7.    Supremasi hukum

3.    Konsep masyarakat madani:

1.    Sifat partisipatif

2.    Otonom

3.    Tidak bebas nilai

4.    Bagian dari sitem dengan struktur non-dominatif (plural)

5.    Termanifestasi dalam organisasi

Fungsi Masyarakat Madani Dalam Negara:

1.    Meniadakan ketidakadilan dan kesenjangan dalam masyarakat.

2.    Melindungi kepentingan penduduk yang universal.

3.    Perlindungan ruang public local, pencegahan kejahatan dengan basis komunitas dan  adanya keluarga yang demokratis

4.    Prinsip-prinsip masyarakat madani:

a.    Persamaan (equality)

b.    Kebebasan dan Hak Asasi Manusia

c.    Prinsip Musyawarah

Nilai-Nilai Masyarakat Madani

a.    Demokrasi

b.    Pluralisme dan Toleransi

c.    Hak Asasi Manusia (HAM)

d.   Keadilan Sosial

5.     Problematika Masyarakat Madani di Indonesia:

a.  Kualitas SDM yang belum memadai karena pendidikan yang belum merata.

b.  Masih rendahnya pendidikan politik masyarakat.

c.  Kondisi ekonomi nasional yang belum stabil pasca krisis moneter.

d. Tingginya angkatan kerja yang belum terserap karena lapangan kerja yang terbatas.

e.  Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak dalam jumlah yang besar.

f.   Kondisi sosial politik yang belum pulih pasca reformasi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Culla, Adi Suryadi. 1999. Masyarakat Madani: pemikiran, teori, dan relevansinya dengan cita-cita reformasi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Bloguinmalikimalang/masyarakatmadani

http://masyarakat2011.blogspot.com/

http://adityoman.blogspot.com/2011/11/ciri-ciri-masyarakat-madani-html

http://godsertoe.blogspot.com/2012/11/prinsip-prinsip-sosialdasar.html

http://akucintaindonesia.blogspot.com/2013/01/pengertian-masyarakat-madani-menurut.html

http://imeyshare.blogspot.com/2011/07/makalah-masyarakat-madani-html



[1] Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani: pemikiran, teori, dan relevansinya dengan cita-cita reformasi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999), 240

[2] Bloguinmalikimalang/masyarakatmadani

[3] http://masyarakat2011.blogspot.com/

[4] http://adityoman.blogspot.com/2011/11/ciri-ciri-masyarakat-madani-html

[5] http://akucintaindonesia.blogspot.com/2013/01/pengertian-masyarakat-madani-menurut.html

[6] http://imeyshare.blogspot.com/2011/07/makalah-masyarakat-madani-html

[7] ibid

[8] http://godsertoe.blogspot.com/2012/11/prinsip-prinsip-sosialdasar.html


No comments:

Post a Comment

terimakasih telah berkunjung ke blog saya, jangan lupa tinggalkan komentar ya sahabat :)