Monday, February 20, 2017

Makalah Pemikiran Socrates (469-399 SM)


PEMIKIRAN SOCRATES (469-399 SM)

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan tidak lepas dari peran sentral tokoh-tokohnya. Karena berkat kegigihan mereka dalam mencari dan berpikir itulah ilmu pengetahuan dapat direalisasikan. Pada masa Yunani Klasik, ada tiga tokoh besar yang memiliki peran tersebut. Dimana mereka banyak memberikan kontribusi pemikiran atau khazanah pengetahuan baik itu dalam bentuk metode, konsep maupun karya tulis.
Salah satunya adalah Socrates, seorang filosof yang agung dengan filsafatnya sehingga melahirkan para filosof sesudahnya. Salah satu filsafatnya adalah dialektika. Dengan ini Socrates dapat menyangkal pendapat kaum sofis yang tatkal itu berkuasa di daratan Athena dengan pemikirannya bahwa kebenaran itu relatif.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah riwayat hidup Socrates?
2.      Apa saja buah karya pemikiran Socrates?
C.    Tujuan
1.      Mengetahui riwayat hidup (biografi) Socrates.
2.      Mengetahui pemikiran-pemikiran Socrates.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi Socrates
Socrates lahir di Athena sekitar tahun 470 SM dan meninggal pada tahun 399 SM. Ayahnya adalah seorang seniman patung yang bernama Sophroniscos dan ibunya adalah bidan yang bernama Phainarete. Karena Socrates masuk tentara Athena sebagai hoplites, dapat disimpulkan bahwa mula-mula ia tidak hidup berkekurangan, karena di Athena hanya pemilik tanah yang diizinkan dalam pasukan itu. Tetapi lama kelamaan ia menjadi miskin karena ia hanya mengutamakan keaktifan sebagai filsuf. Pada usia lanjut ia menikah dengan perempuan bernama Xantippe dan dikaruniai tiga orang anak. Ada kesaksian pula bahwa Socrates adalah murid Arkhelaos, filsuf yang mengganti Anaxaagoras di Athena. Pada awalnya Socrates mau menuruti jejak ayahnya yaitu menjadi pembuat patung. Namun akhirnya ia berganti haluan yakni dari membentuk patung menjadi membentuk watak manusia.[1]
Secara fisik, memang Socrates tidak mencerminkan kebanyakan orang Yunani yang terkenal gagah, ganteng dan menawan. Socrates justru sebaliknya, pendek sedikit gemuk, mulutnya lebar, hidungnya pesek, dan matanya agak menjorok ke luar. Akan tetapi kekurangan itu tertutupi dengan kelebihan kepribadiannya serta budi luhurnya. Socrates begitu pandai menguasai dirinya, ia selalu bersikap adil dan tidak pernah berlaku zalim.
Socrates mendapatkan pendidikan dengan baik, dan pada awalnya ia seorang prajurit Athena yang gagah berani, ia tidak mencampuri urusan politik dan lebih perhatian kepada urusan filsafat. Saat berusia 30-an, ia bekerja sebagai seorang guru moral sosial yang tidak mengambil imbalan juga tidak mendirikan gedung sekolah.[2]
Socrates bergaul dengan segala orang, tua dan muda, kaya dan miskin.[3] Selain itu dia juga merupakan guru yang amat sangat dicintai dan disegani oleh para muridnya, karena sikap dan perilakunya yang baik. Socrates selalu mendahulukan kepentingan umum dan tidak pernah mengutamakan ego dan kepentingannya. Socrates juga memiliki sifat yang cerdik, ia tidak pernah khilaf dalam menimbang baik dan buruk. Yang terunik dari Socrates, bagi para muridnya adalah selalu bertanya, sebab ia banyak ingin tahu. Ia berbicara dengan banyak orang dari berbagai macam kalangan; pelukis, tukang, prajurit, bangsawan, ahli perang, politisi dan sebagainya. Ia bertanya kepada orang yang ditemuinya tentang apa yang sedang dikerjakannya. Misalnya kepada seorang pelukis ia bertanya tentang apa yang dikatakan indah. Dengan jalan bertanya itu ia memaksa orang tersebut supaya memperhatikan apa yang diketahuinya dan sampai batas mana pengetahuannya itu.
Socrates merupakan musuh utama dari kaum sofis yang selalu mengandalkan retorika dalam berpolitik dan membagikan ilmunya. Para guru sofis mengajarkan bahwa “kebenaran yang sebenar-benarnya tidak tercapai”. Namun Socrates menolak pandangan ini, karena menurutnya apabila banyak orang setuju dan hal itu sudah dianggap benar, dengan cara begitu ilmu pengetahuan menjadi dangkal. Akhirnya Socrates mampu membungkam kaum sofis dengan metode dialektik kritis.
Karena sikap kritisnya tersebut, Socrates diadili di pengadilan rakyat dengan dua macam tuduhan. Pertama, ia dianggap meniadakan dewa-dewa yang diakui oleh negara (Yunani). Kedua, ia dianggap menyesatkan dan merusak jiwa pemuda Yunani. Dalam pengadilan tersebut, Socrates menyampaikan sebuah pidato pembelaan, Plato mencatatnya saat sidang berlangsung dan mengabadikannya sebagai sebuah tulisan berjudul “Apologia”. Pidato tersebut berisi bukti-bukti dan alasan bahwa apa yang dituduhkan padanya sama sekali tidak benar.[4]
Namun berdasarkan suara terbanyak, yaitu 280 menyatakan bersalah melawan 220 menyatakan ridak bersalah, maka pendakwa menuntut hukuman mati pada Socrates. Menurut kebiasaan hukum Athena, terdakwa diizinkan mengusulkan hukuman lain. Kalau seandainya Socrates mengusulkan supaya dibuang ke luar kota, usul itu tentu akan diterima. Tetapi Socrates tidak mau meninggalkan kota asalnya. Sebenarnya Socrates bermaksud mengusulkan satu mina (mata uang Athena) sebagai denda, tetapi atas dorongan sahabatnya ia mempertinggikan jumlahnya menjadi 30 mina, lebih-lebih karena mereka menawarkan akan menaggung pembayarannya. Tetapi sidang memutuskan hukuman mati, karena denda 30 mina dirasa terlalu kecil dan terutama karena Socrates dalam pembelaannya dirasa menghina hakim.[5]
Biasanya hukuman mati dijalankan dalam waktu 24 jam. Tetapi pada waktu itu suatu perahu layar Athena yang keramat sedang melakukan perjalanan tahunan ke kuil di pulau Delos dan menurut hukum Athena hukuman mati baru boleh dijalankan bila perahu itu sudah kembali. Dari sebab itu satu bulan lamanya Socrates tinggal lagi dalam penjara sambil bercakap-cakap dengan sahabat-sahabatnya. Salah seorang diantara mereka, bernama Kriton mengusulkan supaya Socrates melarikan diri. Tetapi Socrates menolak.[6]
Bahkan seorang temannya, muridnya maupun tentara Yunani saat itu, meminta Socrates untuk menarik kata-kata dan pemikirannya. Namun ternyata Socrates justru memilih mati daripada mengkhianati kebenaran yang sudah diyakininya karena bagi Socrates, mati dalam keyakinan lebih bernilai daripada mengorbankan keyakinan itu sendiri. Sebelum dieksekusi, Socrates sempat berkata kepada sahabatnya yang bernama Crito, “Crito, aku berutang seekor ayam kepada Aesculaap, jangan lupa membayarkannya.” Crito menjawab, “Utang itu akan dibayar”.[7] Keberaniannya dalam menghadapi maut digambarkan dengan indah dalam Phaedo karya Plato Sekalipun Socrates mati, ajarannya tersebar justru dengan cepat karena kematiannya itu. Metode penyelidikannya, yang dikenal sebagai metode elencos, banyak diterapkan untuk menguji konsep moral yang pokok. Karena itu, Socrates dikenal sebagai bapak dan sumber etika atau filsafat moral, dan juga filsafat secara umum.
B.     Pemikiran Socrates
Socrates  tidak pernah menuliskan apa-apa. Jadi untuk menentukan pemikiran-pemikirannya kita tidak dapat mempergunakan buah pena Socrates sendiri, melainkan dari tulisan murid-muridnya terutama Plato. Plato menulis sejumlah dialog atau diskusi-diskusi yang didramatisasi mengenai filsafat, dimana dia menggunakan Socrates sebagai tokoh utama dan juru bicaranya. Oleh karena itu tidak mudah membedakan antara ajaran-ajaran Socrates dan filsafat Plato.
Bartens menjelaskan ajaran Socrates sebagai berikut ini. Ajaran itu dutujukan untuk menentang ajaran relativisme sofis. Ia ingin menegakkan sains dan agama. Kalau dipandang sepintas lalu, Socrates tidaklah banyak berbeda dengan orang-orang sofis. Sama dengan orang sofis, Socrates memulai filsafatnya dengan bertolak dari pengalaman sehari-hari. Akan tetapi, ada perbedaan yang amat penting antara orang sofis dan Socrates. Socrates tidak menyetujui kaum sofis.[8]
Menurut pendapat Socrates ada kebenaran obyektif, yang tidak bergantung pada saya atau pada kita. Ini memang pusat permasalahan yang dihadapi oleh Socrates. Untuk membuktikan adanya kebenaran obyektif, Socrates menggunakan metode tertentu. Metode itu bersifat praktis dan dijalankan melalui percakapan-percakapan. Ia menganalisis pendapat-pendapat. Setiap orang mempunyai pendapat mengenai salah dan tidak salah, misalnya ia bertanya kepada negarawan, hakim, tukang, pedagang, dsb. Menurut Xenophon, ia bertanya tentang salah dan tidak salah, adil dan tidak adil, berani dan pengecut dll. Socrates selalu menganggap jawaban pertama sebagai hipotesis, dan dengan jawaban-jawaban lebih lanjut dan menarik kensekuensi-konsekuensi yang dapat disimpulkan dari jawaban-jawaban tersebut. Jika ternyata hipotesis pertama tidak dapat dipertahankan, karena menghasilkan konsekuensi yang mustahil, maka hipotesis itu diganti dengan hipotesis lain, lalu hipotesis kedua ini diselidiki dengan jawaban-jawaban lain, dan begitulah seterusnya. Sering terjadi percakapan itu berakhir dengan aporia ( kebingungan ).
Akan tetapi, tidak jarang dialog itu menghasilkan suatu definisi yang dianggap berguna. Metode yang biasa digunakan Socrates biasanya disebut dialektika yang berarti bercakap-cakap atau berdialog. Metode Socrates dinamakan diaelektika karena dialog mempunyai peranan penting didalamnya. Bagi Socrates pada waktu itu penemuan definisi bukanlah hal yang kecil maknanya, penemuan inilah yang akan dihantamkannya kepada relatifisme kaum sofis.[9]
Dalam suatu kutipan yang terkenal dari dialog Theaitetos, Socrates sendiri mengusulkan nama lain untuk menunjukkan metodenya yaitu maieutike tekhne (seni kebidanan). Dia tidak melahirkan sendiri anak itu, namun dia ada untuk membantu selama kelahiran. Begitu juga Socrates menganggap tugasnya seperti membantu orang-orang “melahirkan” wawasan yang benar, sebab pemahaman yang sejati harus timbul dari dalam diri sendiri dan tidak dapat ditanamkan oleh orang lain.[10]
Bagi kita yang sudah biasa membentuk dan menggunakan definisi barang kali merasakan definisi itu bukan sesuatu yang amat penting, jadi bukan suatu penenmuan yang berharga. Akan tetapi, bagi Socrates pada waktu itu penemuan definisi bukanlah hal yang kecil maknanya, penemuan inilah yang akan dihantamkannya kepada relatifisme kaum sofis.
Orang sofis beranggapan bahwa semua pengetahuan adalah relatif kebenarannya, tidak ada pengetahuan yang bersifat umum. Dengan definisi itu Socrates dapat membuktikan kepada orang sofis bahwa pengatahuan yang umum ada, yaitu definisi itu. Jadi, orang sofis tidak seluruhnya benar, yang benar ialah sebagian pengetahuan bersifat umum dan sebagian bersifat khusus, yang khusus itulah pengetahuan yang kebenaranya relatif. Misalnya contoh ini:
Apakah kursi itu ? kita periksa seluruh, kalau bisa seluruh kursi yang ada didunia ini. Kita menemukan kursi hakim ada tempat duduk dan sandaran, kakinya empat, dari bahan jati. Lihat kursi malas, ada tempat duduk dan sandaran, kakinya dua, dari besi anti karat begitulah seterusnya. Jadi kita ambil kesimpulan bahwa setiap kursi itu selalu ada tempat duduk dan sandaran. Kedua ciri ini terdapat pada semua kursi. Sedangkan cirri yang lain tidak dimilki semua kursi. Maka, semua orang akan sepakat bahwa kursi adalah tempat duduk yang bersandaran. Berarti ini merupakan kebenaran obyektif – umum, tidak subyektif – relative. Tentang jumlah kaki, bahan, dsb. Merupakan kebenaran yang relatif. Jadi, memang ada pengetahuan yang umum, itulah definisi.
Dengan mengajukan definisi itu Socrates telah dapat “ menghentikan ” laju dominasi relatifisme kaum sofis. Jadi, kita bukan hidup tanpa pegangan, kebenaran sains dan agama dapat dipegang bersama sebagainya, diperselisihkan sebagainya. Dan orang Athena mulai kembali memegang kaidah sains dan kaidah agama mereka.[11]
Socrates mengatakan kebenaran umum itu memang ada. Ia bukan dicari dengan induksi seperti pada Socrates, melainkan telah ada “ disana ” dialam idea. Kubu Socrates semakin kuat, orang sofis sudah semakin kehabisan pengikut. Ajaran behwa kebenaran itu relatif semakin ditinggalkan, semakin tidak laku. Akhirnya orang mulai mempercayai adanya kebenaran umum.
Dengan metode dialektika ini, menurut Aristoteles selaku murid Plato bahwa Socrates telah melahirkan dua poin penting dalam menggapai sebuah ilmu pengetahuan. Dua poin tersebut adalah induksi dan definisi. Induksi adalah suatu cara berpikir yang bertolak dari hal-hal yang khusus dan menarik kesimpulan untuk hal yang umum. Cara ini telah Socrates terapkan yaitu dengan memberikan atau mengajukan pertanyaan tentang keutamaan kepada semua orang dalam berbagai profesi, kemudian jawaban dari setiap orang tadi disimpulkan sehingga menjadi sebuah pengetahuan. Kemudian, poin yang kedua adalah: Definisi, dimana di dalamnya telah mencakup intisari serta hakikat dari sesuatu sehingga dapat mewakili seluruh populasi yang didefinisikan itu tanpa ada ikatan ruang dan waktu. Dengan kata lain, definisi dihasilkan atas dasar induksi yang berusaha menentukan inti atau hakikat sesuatu hal. Misalnya: Definisi tentang lingkaran, dalam definisi ini akan dijelaskan apa sebenarnya hakikat dari lingkaran tersebut dan definisi ini berlaku untuk semua lingkaran.[12]
Socrates memberikan teori tentang definisi ini dengan beberapa poin yaitu:
1.      Suatu definisi ideal harus memberikan pada kita hakikat dari yang ditunjuk oleh suatu kata.
2.      Hakikat ini akan ditinjau secara tunggal dan sederhana.
3.      Definisi akan menjawab pertanyaan "Apakah unsur pokok yang menjadikan sesuatu hal ada"?
4.      Dalam menjawab pertanyaan ini kita akan mengetahui: (a) yang sungguh-sungguh menjadikan semua hal yang benar adalah benar, dan (b) berdasar atas itu kita mengenal dan mampu menanamkan suatu hal yang benar adalah benar.
5.      Dengan pengetahuan ini sebagai patokan, kita dapat secara rasional, metodis benar.[13]
Dalam apologia Socrates menerangkan kepada hakim-hakimnya bahwa ia menganggap sebagai tugasnya mengingatkan para warga negara Athena supaya mereka mengutamakan jiwa mereka dan bukan kesehatan, kekayaan, kehormatan atau hal-hal lain yang tidak sebanding dengan jiwa. Menurut Socrates, tujuan tertinggi kehidupan manusia ialah membuat jiwanya menjadi sebaik mungkin. Tingkah laku manusia hanya dapat disebut “baik” jika dengan itu ia berusaha supaya manusia menurut inti sarinya, dan bukan menurut salah satu aspek lahiriyah saja dijadikan sebaik mungkin. Dengan cara lain lagi boleh dikatakan bahwa tujuan kehidupan manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia).[14]
Manusia dapat mencapai kebahagiaan dengan arête atau virtue yakni keutamaan (moral). Salah satu pendirian Socrates yang terkenal adalah “keutamaan adalah pengetahuan”. Pemahaman yang lebih mudah misalnya adalah seorang tukang sepatu harus mengetahui apakah itu sebuah sepatu dan untuk apa sepatu dipakai. Tidak mungkin dia menjadi seorang tukang yang baik jika ia tidak mempunyai pengetahuan serupa itu. Demikian juga keutamaan yang membuat manusia menjadi manusia yang baik, harus dianggap sebagai pengetahuan.
Jadi menurut Socrates, orang yang berpengetahuan akan dengan sendirinya berbudi baik. Apabila budi adalah tahu, berdasarkan timbangan yang benar, maka jahatnya dari orang yang tidak mengetahui karena tidak mempunyai pertimbangan atau penglihatan yang benar. Namun jika kita melihat pada era sekarang, ternyata tidak hanya yang tidak tahu saja yang jahat, yang tahu pun bisa lebih jahat dari yang tidak tahu karena mereka bisa memanipulasi dan mencari-cari celah dari apa yang telah ia ketahui. Justru kejahatan dari orang-orang yang berpengetahuan inilah yang lebih berbahaya.[15]
Kosepnya tentang roh, terkenal tidak tentu ( indeterminate ) dan berpandangan terbuka ( openminded ), jelas – jelas tidak agamis dan terlihat tidak mengandalkan doktrin – doktrin metafisik atau teologis. Juga tidak melibatkan komitmen – komitmen naturalistik atau fisik apapun, seperti pandangan tradisional bahwa roh adalah “ nafas ” yang menghidupkan. Sebenarnya juga tidak jelas bahwa ia sedang mencari kesepakatan bagi pendapatnya bahwa roh tidak dapat mati, dan didalam Apologi, ia hanya mengatakan betapa indahnya jika demikian adanya. Hidup ( dan mati ) demi roh seseorang murni berkaitan dengan karakter dan integritas prinadi, bukan dengan harapan – harapan akan ganjarannya dimasa depan. Perhatian Socrates murni etis, tanpa suatu gambaran akan intrik kosmologi yang telah mempesona para pendahulunya.[16]
Socrates diakhir – akhir hidupnya banyak memperkatakan tentang akhirat dan hidup yang abadi kelak dibelakang hari. Dia mempercayai adanya akhirat, dan hidup yang abadi dibelakang hari itu, begitu juga tentang kekalnya roh. Socrates berpendapat bahwa roh itu telah ada sebelum manusia, dalam keadaan yang tidak kita ketahui. Kendatipun roh itu telah bertali dengan tubuh manusia, tetapi diwaktu manusia itu mati, roh itu kembali kepada asalnya semula. Diwaktu orang berkata kepada Socrates, bahwa raja bermaksud akan membunuhnya. Dia menjawab : “ Socrates adalah didalam kendi, raja hanya bisa memecahkan kendi. Kendi pecah, tetapi air akan kembali ke dalam laut ”. Maksudnya, yang hancur luluh hanyalah tubuh, sedang jiwa adalah kekal ( abadi ).[17]
Ia menentang konsep bangsa Yunani tentang jiwa atau psyche. Kepercayaan kuno mengatakan bahwa roh atau jiwa adalah cerminan dari orang yang mati yang bergerak dari dunia kehidupan dan kematian. Socrates menyatakan bahwa ruh adalah suatu yang berbeda dengan jasad. Ia mengemukakan kalau ruh itu mempunyai kecendrungan alamiah kepada kebaikan, suatu konsep yang kemudian ditentang oleh Aristoteles (Freeman, h 281).[18]
Socrates juga mempunyai pandangan pribadi tentang tuhan yang mengajak kita untuk berfikir bahwa ia adalah seorang penerima ruya atau wahyu, apalagi jika dikaitkan dengan dampaknya yang terasa pada masyarakat Athena.
Ia berhasil mempertahankan keyakinannya pada wujud Maha Kuasa dan Maha Pencipta alam semsta terhadap pandangan poytheisme di sekitarnya dengan menggunakan akidah-akidah hokum alam. Ia menentang pluralitas yang berkembang dalam agama bangsa Yunani sebagaimana yang tercermin dalam mithologi mereka. Ia menganjurkan bangsa Athena agar berdoa bagi kebajikan bukan bagi material.
Menurut filsafat Socrates segala sesuatu kejadian yang terjadi di alam adalah karena adanya akal yang mengatur, yang tidak lalai dan tidak tidur. Akal yang mengatur itu adalah Tuhan yang pemurah. Dia bukan benda, hanya wujud yang rohani semata-mata. Pendapat Socrates tentang Tuhan lebih dekat kepada akidah tauhid. Dia menasehatkan supaya orang menjaga perintah-perintah agama, jangan menyembah berhala dan mempersekutukan Tuhan.[19]
Sedangkan tentang mengenal diri Socrates menjadikan pedoman seperti pada pepatah yang berbunyi : “ kenalilah dirimu dengan dirimu sendiri ” ( Gnothisauton ). Pepatah ini dijadikan oleh Socrates jadi pokok filsafatnya. Socrates berkata : manusia hendaknya mengenal diri dengan dirinya sendiri, jangan membahas yang diluar diri, hanya kembalilah kepada diri. Manusia selama ini mencari pengetahuan diluar diri. Kadang – kadang dicarinya pengetahuan itu didalam bumi, kadang – kadang diatas langit, kadang – kadang didalam air, kadang – kadang diudara. Alangkah baiknya kalau kita mencari pengetahuan itu pada diri sendiri. Dia memang tidak mengetahui dirinya, maka seharusnya dirinya itulah yang lebih dahulu dipelajarinya, nanti kalau dia telah selesai dari mempelajari dirinya, barulah dia berkisar mempelajari yang lain. Dan dia tidak akan selesai selama – lamanya dari mempelajari dirinya. Karena pada dirinya itu akan didapatnya segala sesuatu, dalam dirinya itu tersimpul alam yang luas ini.[20]
Socrates selalu mengakui bahwa dia adalah seorang yang bodoh. Sebab dia belum mengenal dirinya sendiri. Dia tidak akan dapat mengetahui sesuatu apapun kecuali kalau dia telah mengetahui dirinya sendiri. Sebab itu haruslah dia mengenal dirinya lebih dulu. Maka dijadikanlah diri manusia oleh Socrates jadi sasaran filsafat, dengan mempelajari substan dan sifat – sifat diri itu. Dengan demikian menurut Socrates filsafat hendaklah berdasarkan kemanusiaan, atau dengan lain perkataan, hendaklah berdasarkan akhlak dan budi pekerti.[21]
Berdasar asumsi Socrates tentang adanya kesejajaran antara cara hidup atau tipe manusia dan tipe masyarakat, Socrates membedakan tipe manusia (jiwa manusia dan cara hidup) menjadi tiga, yakni; a) akal budi (reason), b) semangat (spirit), dan c) nafsu (desire). Ketiga tipe itu akan mencapai puncaknya di bawah pengarahan akal budi dan kemudian keadilan dalam masyarakat akan terwujud apabila masyarakat melakukan secara baik apa saja yang sesuai kemampuan dengan arahan dari yang paling bijaksana (akal budi/filsof).[22]
Jika di atas adalah tipe manusia, maka dari 3 tipe tersebut Socrates membagi masyarakat menjadi tiga kelas, yakni; a) pedaganag yang bekerja mencari uang sebanyak-banyaknya (nafsu), b) prajurit yang bekerja memelihara tata masyarakat (semangat), c) filosof yang berfungsi sebagai penguasa (akal budi).[23]
Berdasar asumsi adanya kesejajaran antara cara hidup manusia dan tata masyarakat itu pula, Socrates membedakan rezim menjadi lima tipe.Pertama, Aristokrasi. Dikatakan rezim terbaik karena diperintah oleh raja yang bijaksana (filosof). Rezim ini dijiwai dengan akal budi. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa hanya yang bijaksana (filosof) yang mampu mengarahkan masyarakat dengan baik dan optimal. Kedua, Timokrasi. Merupakan rezim terbaik kedua, karena dipimpin oleh mereka yang menyukai kehormatan dan kebanggaan, yakni prajurit (militer). Rezim ini dijiwai dengan semangat (spirit). Ketiga, Oligarki. Dipimpin oleh kelompok kecil yang memiliki kekataan melimpah seperti pengusaha/pedagang/saudagar. Rezim ini dijiwai dengan keinginan yang perlu (necessary desire). Keempat, Demokrasi.[24] Dikategorikan sebagai rezim yang dipimpin oleh banyak orang yang hanya mengandalkan kebebasan atau keinginan yang tak perlu (unnecessary desire). Kelima, Tirani. Sebagai rezim terburuk yang pernah ada, karena dipimpin oleh seorang tiran yang memerintah sekehandak nafsunya (unlawful desire). Seorang tidak tidak memiliki kontrol atas dirinya, tidak ada keadilan dalam rezim ini.








BAB III
KESIMPULAN
1.      Socrates lahir di Athena sekitar tahun 470 SM dan meninggal pada tahun 399 SM. Ayahnya bernama Sophroniscos dan ibunya bernama Phainarete. Socrates merupakan musuh utama dari kaum sofis yang selalu mengandalkan retorika dalam berpolitik dan membagikan ilmunya. Hal ini karena Socrates menolak pandangan bahwa “pengetahuan adalah relatif kebenarannya, tidak ada pengetahuan yang bersifat umum”. Akibatnya Socrates diadili dengan dua tuduhan yaitu pertama, ia dianggap meniadakan dewa-dewa yang diakui oleh negara (Yunani). Kedua, ia dianggap menyesatkan dan merusak jiwa pemuda Yunani. Pendakwa memutuskan menghukum mati Socrates dengan disuruh meminum racun cemara.
2.      Pemikiran-pemikiran Socrates hanya dapat kita ketahui dari goresan murid-muridnya terutama Plato dalam diskusi-diskusinya. Diantara pemikiran Socrates adalah:
a.       Cara dia berfilsafat dengan mengejar satu definisi absolut atas satu permasalahan melalui satu Dialektika.
b.      Kebenaran umum itu memang ada maksudnya kebenaran itu tidak relatif tetapi objektif.
c.       Menurut Socrates, orang yang berpengetahuan akan dengan sendirinya berbudi baik. Apabila budi adalah tahu, berdasarkan timbangan yang benar, maka jahatnya dari orang yang tidak mengetahui karena tidak mempunyai pertimbangan atau penglihatan yang benar.
d.      Manusia dapat mencapai kebahagiaan dengan arête atau virtue yakni keutamaan (moral).
e.       Menurut Socrates ruh adalah suatu yang berbeda dengan jasad. Ia mengemukakan kalau ruh itu mempunyai kecendrungan alamiah kepada kebaikan,
f.       Menurut filsafat Socrates segala sesuatu kejadian yang terjadi di alam adalah karena adanya akal yang mengatur, yang tidak lalai dan tidak tidur. Akal yang mengatur itu adalah Tuhan yang pemurah.
g.      Menurut Socrates alangkah baiknya kalau kita mencari pengetahuan itu pada diri sendiri. Manusia tidak akan dapat mengetahui sesuatu apapun kecuali kalau dia telah mengetahui dirinya sendiri
h.      Berdasar asumsi Socrates tentang adanya kesejajaran antara cara hidup atau tipe manusia dan tipe masyarakat, Socrates membedakan tipe manusia (jiwa manusia dan cara hidup) menjadi tiga, yakni; a) akal budi (reason), b) semangat (spirit), dan c) nafsu (desire).
i.        Socrates membagi masyarakat menjadi tiga kelas, yakni; a) pedaganag yang bekerja mencari uang sebanyak-banyaknya (nafsu), b) prajurit yang bekerja memelihara tata masyarakat (semangat), c) filosof yang berfungsi sebagai penguasa (akal budi)
j.        Socrates membedakan rezim menjadi lima tipe, yaitu: Aristokrasi, Timokrasi, Oligarki, Demokrasi, dan Tirani.


DAFTAR PUSTAKA
Astuti, Rahmani. 1999. Dunia Sophi Sebuah Novel Filsafat. Bandung: Mizan
Bertens, Kees. 1975. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius
Hatta, Mohammad. 1986. Alam Pikiran Yunani. Jakarta: UI-Press
Mustansyir, Rizal. 2001. Filsafat Analitik Sejarah, Perkembangan, dan Peran Para Tokohnya. Yogyakarta: Pustaka Belajar
Pasaribu, Saut. 2002. Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya
Shaleh, Abdul Qodir. 2005. Sejarah Psikologi dari Masa Kelahiran Sampai Masa Modern. Jogjakarta: Prismasophie
Tafsir, Ahmad. 1994. Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai James. Bandung: Remaja Rosdakarya
Waris. 2009. Filsafat Umum. Ponorogo: STAIN Po Press
Arbain Nurdin, Dialektika Socrates, http://arbainurdin.blogspot.com diakses 14 April 2012
Hadi, Socrates (470-399 SM),http://filsafat.kompasiana.com/2010/07/30/socrates-470-399-sm/ , diakses 14 April 2012
Jalaludin Amri, Socrates, http://armi99.blogspot.com/2009/11/socrates.html  diakses 14 April 2012
Socrates, Jalan Pemikiran Socrates, http://socratesngulak.blogspot.com/2010/03l diakses 14 April 2012


No comments:

Post a Comment

terimakasih telah berkunjung ke blog saya, jangan lupa tinggalkan komentar ya sahabat :)