Thursday, April 13, 2017

MAKALAH SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS


B. PEMBAHASAN

1.      Hadist pada Masa Sahabat
Periode kedua sejarah perkembangan hadits  adalah masa sahabat, khususnya adalah Khulafa al-Rasyidun (Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin Khathab, Ustman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib), sehingga masa ini dikenal dengan masa sahabat besar.[1] Periode ini juga dikenal dengan zaman Al-Tasabbut wa al-Iqlal min al-Riwayah yaitu periode membatasi hadits dan menyedikitkan riwayat. Hal ini disebabkan karena para sahabat pada masa ini lebih mencurahkan perhatiannya kepada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an. Akibatnya periwayatan haditspun kurang mendapat perhatian, bahkan mereka berusaha untuk bersikap hati - hati dan membatasi dalam meriwayatkan hadits.
Kehati - hatian dan usaha membatasi periwayatan dan penulisan hadits yang dilakukan para sahabat, disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan dan kebohongan atas nama Rasul SAW, karena hadits adalah sumber ajaran setelah Al-Qur’an.[2] Keberadaan hadits  yang demikian harus dijaga keautentikannya sebagaimana penjagaan terhadap Al-Qur’an.  Oleh karena itu, para sahabat khususnya Khulafa al-Rasyidin, dan sahabat lainnya seperti Al - zubair, Ibn Abbas, dan Abu Ubaidah berusaha keras untuk memperketat periwayatan hadits. Berikut ini akan diuraikan periwayatan hadis pada masa sahabat.
a.      Abu Bakar al-Shiddiq
Pada masa pemerintahan Abu Bakar, periwayatan hadits dilakukan dengan sangat hati - hati. Bahkan menurut Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi (w. 748H/1347M),  sahabat Nabi yang pertama - tama menunjukkan sikap kehati - hatiannya dalam meriwayatkan hadits adalah Abu Bakar al-Shiddiq.
Sikap ketat dan kehati - hatian Abu Bakar tersebut juga ditunjukkan dengan tindakan konkrit beliau, yaitu dengan membakar catatan-catatan hadits yang dimilikinya. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Aisyah (putri Abu Bakar) bahwa Abu Bakar telah membakar catatan yang berisi sekitar lima ratus hadist. Tindakan Abu Bakar tersebut lebih dilatarbelakangi oleh karena beliau merasa khawatir berbuat salah dalam meriwayatkan hadits Sehingga, tidak mengherankan jika jumlah hadits yang diriwayatkannya juga tidak banyak. Padahal, jika dilihat dari intensitasnya bersama Nabi, beliau dikatakan sebagai sahabat yang paling lama bersama Nabi, mulai dari zaman sebelum Nabi hijrah ke Madinah hingga Nabi wafat.
Selain sebab - sebab di atas, menurut Suhudi Ismail, setidaknya ada tiga factor yang menyebabkan sahabat Abu Bakar tidak banyak meriwayatkan hadits, yaitu (1) dia selalu dalam keadaan sibuk ketika menjabat sebagai khalifah; (2) kebutuhan akan hadits tidak sebanyak pada sesudahnya; dan (3) jarak waktu antara kewafatannya dengan kewafatan Nabi sangat singkat.
Dengan demikian, dapat dimaklumi kalau sekiranya aktifitas periwayatan hadits pada masa Khalifah Abu Bakar masih sangat terbatas dan belum menonjol, karena pada masa ini umat Islam masih dihadapkan oleh adanya beberapa kenyataan yang sangat menyita waktu, berupa pemberontakan-pemberontakan yang dapat membahayakan kewibawaan pemerintah setelah meninggalnya  Rasulullah SAW baik yang datang dari dalam (intern) maupun dari luar (ekstern). Meskipun demikian, kesemuanya tetap dapat diatasi oleh pasukan Abu Bakar dengan baik.
b.      Umar ibn al-Khathab

Tindakan hati - hati yang dilakukan oleh Abu Bakar al-Shiddiq, juga diikuti oleh sahabat Umar bin Khathab. Umar dalam hal ini juga terkenal sebagai orang yang sangat berhati-hati di dalam meriwayatkan sebuah hadits. Beliau tidak mau menerima suatu riwayat apabila tidak disaksikan oleh sahabat yang lainnya.
Hal ini memang dapat dipahami, karena memang pada masa itu, terutama masa khalifah Abu Bakar dan khalifah Umar bi al-Khathab naskah Al-Qur’an masih sangat terbatas jumlahnya, dan karena itu belum menyebar ke daerah - daerah kekuasaan Islam. Sehingga dikhawatirkan umat Islam yang baru memeluk Islam saat itu tidak bisa membedakan antara Al-Qur’an dan Al-Hadits. 
Pada periode ini menyusun catatan-catatan terdahulu juga dilarang, karena dari catatan tersebut tidak dapat diketahui mana yang haq dan mana yang bathil, demikian pula dengan pencatat ilmu juga dilarang. Meskipun demikian, pada masa Umar ini periwayatan hadits juga banyak dilakukan oleh umat Islam. Tentu dalam periwayatan tersebut tetap memegang prinsip kehati-hatian.
c.       Utsman Ibn Affan

Pada masa Usman Ibn Affan, periwayatan hadits dilakukan dengan cara yang sama dengan dua khalifah sebelumnya. Hanya saja, usaha yang dilakukan oleh Utsman Ibn Affan ini tidaklah setegas yang dilakukan oleh Umar bin al-Khathab.
Meskipun Utsman  melalui khutbahnya telah menyampaikan seruan agar umat Islam berhati-hati dalam meriwayatkan hadits.  Namun pada zaman ini, kegiatan umat Islam dalam periwayatan hadist telah lebih banyak bila dibandingkan dengan kegiatan periwayatan pada zaman dua khalifah sebelumnya. Sebab, seruannya itu ternyata tidak begitu besar pengaruhnya terhadap para periwayat yang bersikap “longgar” dalam periwayatan hadist. Hal ini lebih disebabkan karena selain pribadi Utsman yang tidak sekeras pribadi Umar, juga karena wilayah Islam telah bertambah makin luas. Yang mengakibatkan bertambahnya kesulitan pengendalian kegiatan periwayatan hadis secara ketat.
d.      Ali bin Abi Thalib
Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam meriwayatkan hadits tidak jauh berbeda dengan para khalifah pendahulunya. Artinya, Ali dalam hal ini juga tetap berhati-hati didalam meriwayatkan hadits. Dan diperoleh pula atsar yang menyatakan bahwa Ali r.a tidak menerima hadits  sebelum yang meriwayatkannya itu disumpah.[3] Hanya saja, kepada orang-orang yang benar-benar dipercayainya,  Ali tidak meminta mereka untuk bersumpah.
Dengan demikian, fungsi sumpah dalam periwayatan hadits bagi Ali tidaklah sebagai syarat mutlak keabsahan periwayatan hadits. Sumpah dianggap tidak perlu, apabila orang yang menyampaikan riwayat hadits telah benar-benar diyakini tidak mungkin keliru.
Ali bin Abi Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi. Hadits yang diriwayatkannya, selain dalam bentuk lisan, juga dalam bentuk tulisan (catatan). Hadits yang berupa catatan, isinya berkisar tentang: [1] hukuman denda (diyat); [2] pembebasan orang Islam yang ditawan oleh orang kafir; dan [3] larangan melakukan hukum (qishash) terhadap orang Islam yang membunuh orang kafir. Dalam Musnad Ahmad, Ali bin Abi Thalib merupakan periwayat hadist yang terbanyak bila dibandingkan dengan ketiga khalifah pendahulunya.
2.      Hadist pada Masa Tabi’in
Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan kalangan tabi’in tidak berbeda dengan yang dilakukan para sahabat. Mereka, bagaimanapun, mengukuti jejak para sahabat sebagai guru – guru mereka. Hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini Al Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Dipihak lain, usah yang taelah dirintis oleh paara sahabat, pada masa khulafa’ Al-Rasyidin, khususnya masa kekhalifahan Ustman para sahabat ahli hadiast menyebar keberapa wilayah kekuasaan Islam. Kepeda merekalah para tabi’in mempelajari hadits.[4]
a.      Pusat – pusat Pembinaan Hadits
Tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadits, sebagai tempat tujuan para tabi’in dalam mencari hadits. Kota - kota tersebut ialah Madinah al-Munawarah, Makkah al-Mukarramah, Kuffah, Basrah, Syam, Mesir, Magrib dan Andalas, Yaman dan Khurasan. Dari sejumlah para sahabat pembina hadits pada kota - kota tersebut, ada beberapa orang yang tercatat meriwayatkan hadist cukup banyak, antara lain: Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Aisyah, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdillah dan Abi Sa’id al-Khudzri.[5]
Tokoh – tokoh dalam Perkembangan Hadits Sahabat Kecil
Pada masa awal perkembangan hadits, sahabat yang banyak meriwayatkan hadits disebut dengan al-Mukhtsirun fi al-Hadits mereka adalah:
1)      Abu Hurairah meriwayatkan 5374 atau 5364 hadits
2)      Abdullah ibn Umar meriwayatkan 2630 hadits
3)      Anas ibn Malik meriwayatkan 2276 atau 2236 hadits
4)      Aisyah(istri nabi) meriwayatkan 2210 hadits
5)      Abdullah ibn Abbas meriwayatkan 1660 hadits
6)      Jabir ibn Abdillah meriwayatkan 1540 hadits
7)      Abu Sa’id al-Khudzri meriwayatkan 1170 hadits.

Sedangkan dari kalangan tabi’in besar, tokoh – tokoh periwayatan hadisat sangat banyak sekali, mengingat banyaknya periwayatan pada masa tersebut, diantaranya:
1)      Madinah
v  Abu Bakar ibn Abdu Rahman ibn al-Haris ibn Hisyam
v  Salim ibn Abdullah ibn Umar
v  Sulaiman ibn Yassar
2)      Makkah
v  Ikrimah
v  Muhammad ibn Muslim
v  Abu Zubair
3)      Kufah
v  Ibrahim an-Nakha’i
v  Alqamah
4)      Basrah
v  Muhammad ibn Sirin
v  Qatadah
5)      Syam
v  Umar ibn Abdul Aziz
6)      Mesir
v  YAzid ibn Habib
7)      Yaman
v  Thaus ibn Kaisan al-Yamani
b.      Pergolakan Politik dan Pemalsuan Hadits
Pergolakan ini sebenarnya terjadi pada masa sahabat, setelah terjadinya perang Jamal dan perang Sifin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali bin Abi Thalib akan tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut- larut dengan terpecahnya umat islam kedalam beberapa kelompok ( Khawarij, Syi’ah, Mu’awiyah dan golongan mayoritas yang tidak masuk kedalam ketiga kelompok tersebut).
Langsung atau tidak, dari pergolakan politik seperti diatas, cukup memberikan pengaruh terhadap perkembangan hadits berikutnya. Pengaruh yang langsung yang bersifat negatif, ialah dengan munculnya hadits – hadits palsu (maudhu’) untuk mendukung kepentingan politiknya masing – masing kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawan – lawannya. Adapun pengaruh yang bersifat positif adalah lahirnya rencana dan usaha yang mendorong diadakannya kodofikasi atau tadwin hadist, sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan, sebagai akibat dari pergolakan politik tersebut.
KESIMPULAN
Periode kedua sejarah perkembangan hadist adalah masa sahabat, khususnya adalah Khulafa’ al Rasyidin (Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin Khathab, Ustman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib). Sehingga masa ini dikenal dangan zaman Al-Tasabbut wa al-Iqlal min al-Riwayah. Adapun hadits pada masa tabi’in terdapat pusat – pusat pembinaan hadits antara lain: Madinah al-Munawarah, Makkah al-Mukarramah, Kuffah, Basrah, Syam, Mesir, Magrib dan Andalas, Yaman dan Khurasan. Sedangkan tokoh – tokohnya: Abu Hurairah, Abdullah ibn Umar, Anas ibn Malik, Aisyah(istri nabi), Abdullah ibn Abbas, Jabir ibn Abdillah, Abu Sa’id al-Khudzri. Sedangkan dari kalangan tabi’in besar, tokoh – tokohnya: Madinah yaitu Abu Bakar ibn Abdu Rahman ibn al-Haris ibn Hisyam, Salim ibn Abdullah ibn Umar, Sulaiman ibn Yassar. Makkah yaitu Ikrimah, Muhammad ibn Muslim, Abu Zubair. Kufah yaitu Ibrahim an-Nakha’I, Alqamah. Basrah yaitu Muhammad ibn Sirin, Qatadah. Syam yaitu Umar ibn Abdul Aziz. Mesir yaitu Yazid ibn Habib. Yaman yaitu Thaus ibn Kaisan al-Yamani.
Keadaan hadits pada masa tabi’in ini sempat memunculkan beberapa pengaruh yaitu terpecahnya umat islam kedalam beberapa kelompok ( Khawarij, Syi’ah, Mu’awiyah dan golongan mayoritas yang tidak masuk kedalam ketiga kelompok tersebut). Pengaruh  negatif, ialah  munculnya hadits palsu (maudhu’) yang mendukung kepentingan politik masing – masing kelompok dan menjatuhkan posisi lawan. Dan pengaruh positif adalah lahirnya rencana dan usaha yang mendorong diadakannya kodofikasi atau tadwin hadits.

DAFTAR PUSTAKA
Ichwan, Mohammad Nor. 2007. Studi Ilmu Hadist. Semarang: RaSAIL Media.
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku. 1999. Ilmu Hadist. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Rofi’ah, Khusniati. 2010. Studi Ilmu Hadist. Ponorogo: STAIN PO Press.
Suparta, Munzier. 2008. Ilmu Hadist. Jakarta: Raja  Graafindo Persada.
Zuhri, Muh. 2003. Hadist Nabi Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

 


MAKALAH ALIRAN MU'TAZILAH

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Mu’tazilah

Kata mu’tazilah secara bahasa berasal dari bahasa Arab اعتزل yang berarti memisahkan diri. Sedangkan معتزلة adalah orang-orang yang memisahkan diri.[1] Nama nama mu’tazilah bukan ciptaan orang-orang Mu’tazilah sendiri, tetapi diberikan oleh orang lain.[2] Sedangkan orang-orang mu’tazilah sendiri menamakan dirinya اَهْلُ العَدْلِ وَ التَوْحِدِ yaitu ahli keadilan dan keesaan.[3]

Mu’tazilah secara istilah diartikan dengan berbagai macam definisi, antara lain:

a.       Mu’tazilah : Orang-orang menyalahi pendapat sebagian besar umat, dan mengatakan bahwa orang fasik, yaitu orang yang melakukan dosa besar, tidak mukmin tidak pula kafir.

b.      Mu’tazilah : Golongan yang memisahkan diri dari Hasan Basri yaitu para pengikut Washil bin Atho’.

c.       Mu’tazilah : Orang-orang yang memisahkan diri dari dari ketergantungan terhadap keduniaan, yaitu melalui ketaqwaan, zuhud, kesederhanaan, serta merasa puas dengan yang ada.[4]

d.      Mu’tazilah : Orang-orang yang tidak mau melibatkan diri dalam perang jamal maupun perang Siffin, karena mereka belum dapat mengetahui dengan jelas mana yang benar dan mana yang salah.

B.     Sejarah Munculnya dan Perkembangan Mu’tazilah

Mu’tazilah merupakan salah satu firqah Islamiah yang memiliki ciri metode tersendiri dalam berakidah. Dalam memahami masalah-masalah aqidah, mereka sangat cenderung untuk menggunakan akal pikiran. Metode berpikir mereka sangat dipengaruhi filsafat Yunani. Mu’tazilah selalu berusaha mengkompromikan antara pemikiran-pemikiran Islam dengan pemikiran-pemikiran Yunani. Mereka sangat giat memperlajari filsafat Yunani untuk mempertahankan pendapat-pendapat mereka dan ajaran-ajaran Islam.

Munculnya aliran Mu’tazilah menunjuk pada dua golongan. Golongan pertama (selanjutnya disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan politik ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya. Golongan inilah yang mula-mula disebut Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khalifah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh di kemudian hari.[5]

Golongan kedua (selanjutnya disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon dari persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Murji’ah akibat adanya tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan khawarij dan murji’ah tentang pemberian status kafir kepada orang yang berbuat dosa besar.

Pendapat lain mengatakan bahwa sejarah awal perkembangan Mu’tazilah tak dapat dilepaskan dari nama Washil bin Atho. Dialah pemimpin pertama Mu’tazilah. Washil adalah murid Hasan Basri. Suatu ketika, salah seorang murid Hasan Basri menanyakan tentang pandangan agama terhadap seseorang yang melakukan dosa besar. Hasan Basri memberi jawaban bahwa pelaku dosa besar tersebut dikategorikan sebagai munafik. Iapun menyanggah dan mengemukakan pendapatnya, bahwa orang yang melakukan dosa besar berarti bukan lagi seorang muslim secara mutlak dan bukan pula kafir secara mutlak. Karena ketidakpuasan atas jawaban Hasan Basri tersebut, Atho’ kemudian memisahkan diri dari gurunya tersebut bersama orang-orang yang menyetujui pendapatnya tersebut. Kemudian muncullah aliran Mu’tazilah.

Sebagaimana telah disebutkan bahwa awal pemunculannya Mu’tazilah jauh dari arena politik. Namun ketidakterlibatan mereka dengan dunia politik tidak berlangsung lama. Setelah mereka menjadi kuat pengaruh mereka mulai menyusup ke pusat kekuasaan Daulah Bani Umayyah. Mereka mendekati khalifah Walid bin Yazid, hingga akhirnya Walid pun memeluk aliran Mu’tazilah. Tidak hanya Walid saja yang terpengaruh aliran Mu’tazilah, Marwan bin Muhammad, khalifah terakhir Daulah Bani Umayyah, serta beberapa pemegang kekuatan politik lainnya, juga menjadi pengikut Mu’tazilah. Dengan keterlibatan para khalifah ini, maka aliran Mu’tazilah telah sepenuhnya menceburkan diri di kancah politik dan kekuatan yang mereka miliki sedikit banyak adalah karena dukungan para khalifah.[6]

Runtuhnya Daulah Bani Umayyah dan bangkitnya Daulah Abbasiyah ternyata tidak membuat surut langkah politik Mu’tazilah. Bahkan sebaliknya mereka justru melangkah lebih jauh dalam arena politik. Dimulai di Basrah kemudian berdiri cabang sampai ke Baghdad. Orang Mu’tazilah Basrah bersikap hati-hati dalam menghadapi masalah politik, kelompok Mu’tazilah di Bagdad justru terlibat jauh. Ketika Basyir Al Murasyi, seorang tokoh Mu’tazilah, menyatakan pendapatnya yang controversial tentang Al-Qur’an yaitu AL-Qur’an adalah makhluk, Harun Al-Rasyid pun mengancam akan membunuhnya.

Namun konflik tersebut tidak berlangsung lama. Bahkan akhirnya Mu’tazilah dapat mempengaruhi khalifah Bani Abasiyyah untuk masuk dalam aliran tersebut seperti khalifah Al Makmun dan khalifah Al Mu’tashim. Kalifah Al-Makmun sangat tertarik pada filsafat Yunani. atas dorongan seorang hakim Mu’tazilah yaitu ibn Abi Duwad, pada tahun 872 M Al Makmun memproklamasikan pandangan tentang kemakhlukan Al Qur’an. Untuk mempertahankan dan menyebarkan pandangannya tersebut, pada tahun 833 Al Makmun melembagakan mihnah yaitu semacam lembaga pengadilan bagi orang-orang yang menolak pahamnya. salah satu korbannya adalah Ahmad Ibn Hambal, seorang tokoh yang berpegang teguh pada pandangan ortodoks.

Golongan-golongan yang menentang Mu’tazilah tersebut ternyata mempengaruhi Mu’tazilah sendiri. Hal ini karena pendapat dan pikiran selalu bekerja baik terhadap kawan maupun lawan. Seperti teori John of Damaskus yang mengatakan bahwa Tuhan adalah Zat yang baik, menjadi sumber kebaikan dan tidak dapat mengerjakan keburukan. Manusia bebas berbuat dan memilih yang akan dimintai pertanggungjawaban. Hal ini kemudian dijadikan ajaran dalam aliran Mu’tazilah.

Setelah beberapa puluh tahun lamanya golongan Mu’tazilah mencapai kepesatan dan kemegahan, akhirnya mengalami kemunduran. Kemunduran ini terjadi akibat kesalahan mereka sendiri. Mereka membela dan memperjuangkan kebebasan berpikir tetapi mereka sendiri memusuhi orang-orang yang tidak mengikuti pendapat-pendapat mereka.

Sekalipun metode rasional sangat dominan di kalangan Mu’tazilah, namun sebagai teolog Islam para tokohnya tidak melupakan teks-teks wahyu (Al-Qur’an dan hadist) dalam memformulasikan pendapatnya. Keduanya diyakini sebagai sumber pokok kepercayaan yang mereka yakini kebenarannya. Hanya saja sesuai dengan prinsip rasionalitasnya ayat-ayat al-Qur’an yang sesuai dan diterima akal dijadikan sebagai pendukung pandangannya sedangkan yang tidak demikian mereka ta’wilkan secara rasional atau dilewatkan begitu saja.[7]

C.    Pokok-pokok Ajaran Mu’tazilah

Aliran Mu’tazilah mempunyai lima pokok ajaran yang disebut dengan ushulul khamsah. Kelima ajaran dasar Mu’tazilah yang tertuang dalam al-ushul al khamsah adalah at-tauhid (pengesaan Tuhan), al-adl (keadilan Tuhan), al waad wa al-wa’id (janji dan ancaman Tuhan), al-manzilah bain al manzilatain (posisi di antara dua posisi), dan al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy an al-munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran).[8]

1.      At-tauhid

At-tauhid (pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dan intisari ajaran Mu’tazilah. Sebenarnya tauhid ini bukan milik khusus golongan Mu’tazilah. Tauhid adalah dasar Islam pertama dan utama. Tetapi karena mereka menafsirkannya sedemikian rupa dan mempertahankannya dengan sungguh-sungguh maka mereka terkenal sebagai ahli tauhid.

Mereka mengingkari sifat azali yang dimiliki Allah, seperti sifat Ilmu, qudrah, hidup, mendengar, dan melihat bukan DzatNya.

 

 

 

2.      Adl ( Keadilan)

Allah Maha Adil, dan keadilanNya mengharuskan manusia memiliki kekuasaan untuk berbuat sesuai dengan kehendaknya sendiri.[9] Ajaran keadilan ini berkait erat dengan beberapa hal,[10] yaitu:

a.       Perbuatan manusia

Manusia menurut Mu’tazilah, melakukan dan melaksanakan  perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan baik secara langsung ataupun tidak. Manusia bebas memilih, bebas berkehendak, dan bertanggung jawab atas pilihan atau kehendaknya itu.

b.      Berbuat baik dan terbaik

Dalam istilah Arabnya, berbuat baik dan terbaik disebut ash shalah wa al-ashlah. Maksudnya adalah kewajiban Tuhan untuk berbuat baik bahkan terbaik bagi manusia. Tuhan tidak mungkin jahat dan aniaya karena akan menimbulkan kesan Tuhan Penjahat dan Penganiaya, sesuatu yang tidak layak bagi Tuhan.

c.       Mengutus rasul

Mengutus rasul kepada manusia adalah kewajiban Tuhan, karena:

1.      Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia dan hal itu tidak dapat terwujud, kecuali dengan mengutus rasul kepada mereka.

2.      Al Qur’an secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk memberikan belas kasih kepada manusia (QS Asy Syu’ara: 29). Cara yang terbaik untuk maksud tersebut adalah dengan pengutusan rasul.

3.      Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Agar tujuan tersebut berhasil, tidak ada jalan lain selain mengutus rasul.

3.      Wa’d wal Wa’id (Janji dan Ancaman)

Ajaran tersebut dipegang oleh kaum Mu’tazilah adalah untuk membuktikan keadilan Tuhan sehingga manusia dapat merasakan balasan Tuhan atas segala perbuatannya.[11] Ajaran ketiga ini tidak memberi peluang bagi Tuhan, selain menunaikan janji-janjiNya, yaitu memberi pahala orang yang taat dan menyiksa orang yang berbuat maksiat, kecuali orang yang sudah bertobat nasuha. Ajaran ini tidak percaya adanya syafaat sebab syafaat berlawanan dengan janji dan ancaman.

4.      Al-Manzilah baina Manzilatain (Tempat diantara dua tempat)

Pokok ajaran ini adalah bahwa mukmin yang melakukan dosa besar dan belum tobat bukan lagi mukmin atau kafir tetapi fasik. Hal ini karena keimanan menuntut adanya kepatuhan kepada Tuhan, tidak cukup hanya pengakuan dan pembenaran. Berdosa besar bukanlah kepatuhan tetapi kedurhakaan. Pelakunya juga tidak dapat dikatakan sebagai kafir secara mutlak karena mereka masih percaya kepada Tuhan, rasulNya, dan mengerjakan perbuatan yang baik.

5.      Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Amar ma’ruf nahi munkar adalah menyuruh kebaikan dan melarang kemunkaran. Ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Perbedaan aliran Mu’tazilah dengan aliran lain mengenai ajaran kelima ini terletak pada tatanan pelaksanaannya. Menurut mereka orang yang menyalahi pendirian mereka dianggap sesat dan harus dibenarkan serta diluruskan. Bahkan jika memang diperlukan, kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut. mereka berpegang pada hadist yang berbunyi[12]:

مَنْ رَاءَ مِنْكُمْ مُنْكَرًافَلْيُغَيِرْهُ بِيَدِهِ

"Siapa diantaranya yang melihat kemunkaran maka ubahlah dengan tanganmu”

Sejarahpun telah mencatat kekerasan yang dilakukannya ketika menyiarkan ajaran-ajarannya. Diantaranya adalah Syekh Buwaithi seorang ulama pengganti Imam Syafi’I dan Ahmad Ibn Hambal, seorang tokoh yang berpegang teguh pada pandangan ortodoks dalam peristiwa Qur’an Makhluk.

D.    Dalil Naqli dari Aliran Mu’tazilah

Ketidak terlibatan aliran Mu’tazilah dalam perang Siffin adalah karena mereka belum dapat mengetahui dengan jelas mana yang benar dan mana yang salah diantara dua pihak yang bertikai itu. Dalam hal ini mereka bersandar pada firman Allah Q.S Al Hujurat ayat 9.[13] yaitu:

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Artinya: “Dan jika ada dua golongan dari orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah: jika golongan itu telah kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (Q.S Al Hujurat: 9)

Sedangkan untuk dasar Amar Ma’ruf Nahi Munkar mereka berpegang pada QS Al Imran: 104 dan Lukman: 17.


KESIMPULAN

1.      Mu’tazilah secara bahasa berasal dari bahasa Arab I’tizal yang artinya memisahkan diri. Sedangkan Mu’tazilah artinya orang-orang yang memisahkan diri.

2.      Sejarah munculnya aliran Mu’tazilah ada dua versi. Pertama muncul sebagai respon politik murni. Golongan politik ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya. Kedua muncul sebagai respon dari persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Murji’ah akibat adanya tahkim.

3.      Aliran Mu’tazilah mempunyai lima pokok ajaran yang disebut dengan ushulul khamsah yaitu at-tauhid (pengesaan Tuhan), al-adl (keadilan Tuhan), al waad wa al-wa’id (janji dan ancaman Tuhan), al-manzilah bain al manzilatain (posisi di antara dua posisi), dan al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy an al-munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran)

4.      Dalil naqli aliran Mu’tazilah adalah Q.S Al Hujurat : 9, QS Al Imran: 104 dan Lukman: 17.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rozak dan Rosihon Anwar. 2001. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia

Ahmad, Muhammad. 1998. Tauhid Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia

As Syak’ah, Mustofa Muhammad. 1994. Islam tidak bermadzhab. Jakarta: Gema Indani Pers

Ghazali, Adeng Mukhtar. 2005. Perkembangan Ilmu Kalam dari Klasik hingga Modern. Bandung: Pustaka Setia

Hanafi, Ahmad. 1968. Teologi Islam. Jakarta: Bulan Bintang

Madkour, Ibrahim. 1995. Aliran dan Teori Filsafat Islam. Jakarta: Bumi Aksara