Thursday, December 28, 2023

MAKALAH ETIKA DAN MORAL EKONOMI

 

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

Sebagai umat Islam sebagaimana telah diketahui bersama bahwa yang digunakan sebagai sumber hukum dalam melaksanakan perbuatan yang mencakup ibadah maupun muamalah adalah Al-Qur’an dan Hadits. Alquran adalah kitab suci yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW yang mengandung petunjuk-petunjuk bagi umat manusia. Al-Qur’an diturunkan untuk menjadi pegangan bagi mereka yang ingin mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Ia tidak diturunkan hanya untuk suatu umat atau untuk suatu abad, tetapi untuk umat manusia dan untuk sepanjang masa, karena itu luas ajaran-ajarannya adalah sama dengan luasnya umat manusia. Di dalam alquran terkumpul wahyu ilahi yang menjadi petunjuk, pedoman dan pelajaran bagi siapa yang mencapai serta mengamalkannya.

 Salah satu isi dari firman Allah adalah tentang anjuran kepada umat manusia untuk memakan makanan yang halal lagi baik (thayyib), serta memakan makanan yang haram lagi membahayakan. Segala sesuatu yang ada di bumi ini adalah halal dimakan agar mencukupi kebutuhan hidup manusia kecuali ada beberapa jenis yang diharamkan oleh agama sebagaimana yang tercantum di dalam alquran dan hadis Nabi. Hal tersebut telah dijelaskan dalam surat al-baqarah 168 dan 172 serta al-tawbah 34. Lebih jelasnya lagi akan dibahas dalam makalah ini.

B.  Rumusan Masalah

1.    Bagaimana bunyi ayat dan tarjamah dari Surat Al-Baqarah ayat 168, 172 dan Al-Tawbah ayat 34 ?

2.    Bagaimana penjelasan kosa kata dalam Surat Al-Baqarah ayat 168, 172 dan Al-Tawbah ayat 34 ?

3.    Bagaimana Asbāb al-Nuzūl dari Surat Al-Baqarah ayat 168, 172 dan Al-Tawbah ayat 34 ?

4.    Bagaimana munāsabah dari Surat Al-Baqarah ayat 168, 172 dan Al-Tawbah ayat 34 ?

5.    Apa saja kandungan ayat yang terdapat dalam Surat Al-Baqarah ayat 168, 172 dan Al-Tawbah ayat 34 ?

 

PEMBAHASAN

A.  Surat Al-Baqarah 168 dan 172 ( Perintah Mencari Rezki yang Halal)

1.    Al-Baqarah: 168

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي اْلأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Artinya            :

“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.”[1]

v Kosa kata

Arti

Lafadz

Arti

Lafadz

dan janganlah kalian mengikuti

وَّلَا تَتَّبِعُوْا

wahai

يَا أَيُّهَا

langkah-langkah

خُطُوَاتِ

manusia

النَّاسُ

Setan

الشَّيْطَانِ

makanlah

كُلُوا

sesungguhnya dia

إِنَّهُ

dari apa yang

مِمَّا

bagi kalian

لَكُمْ

di bumi

فِي اْلأَرْضِ

musuh

عَدُوٌّ

halal

حَلَالًا

yang nyata

مُبِينٌ

baik

طَيِّبًا

v Asbāb al-Nuzūl

Abdullah ibnu Abbas mengatakan, bahwa ayat ini turun berkenaan dengan sikap suatu kaum yang terdiri dari Bani Saqif, Bani Amir ibnu Sāsa’ah, Khūza’ah dan Bani Mudlaj. Mereka menyatakan haram untuk diri mereka sendiri berbagai jenis makanan, seperti daging ternak, ikan laut, dan lain sebagainya.[2]

v Munāsabah

Dalam ayat 165 dan 167 Al-Baqarah telah diterangkan nasib orang yang mempersekutukan Tuhan yang telah  menetapkan hukum-hukum dan mengharamkan apa yang tidak diharamkan Allah, dan membuat peraturan-peraturan menurut hawa nafsu mereka dan mengikuti langkah-langkah setan.

Tentang langkah-langkah syaitan itu, menurut riwayat dari Ibnu Abi Halim dari tafsiran Ibnu Abbas :[3]

 “Apa sajapun yang menyalahi isi al-Quran itu adalah langkah-langkah syaitan.”

ﺣَﻼَﻻً (Halalan) terambil dari kata halla yahillu hallan wa halalan yang berarti menjadi boleh. Dari kata ini diperoleh pengertian “membolehkan sesuatu”. Maksud kata halalan dalam ayat ini adalah menjelaskan kesalahan orang musyrik. Mekah yang telah mengharamkan berbagai kenikmatan yang sebenarnya tidak diharamkan Allah. Maka kata halalan  diberi kata sifatﻁَﻴِّﺑًﺎ  (tayyiban), artinya makanan yang dihalalkan Allah adalah makanan yang berguna bagi tubuh, tidak merusak, tidak menjijikkan, enak, tidak kadaluarsa, dan tidak bertentangan dengan perintah Allah, karena tidak diharamkan, sehingga kata tayyiban menjadi alasan dihalalkannya sesuatu.[4]

v Kandungan Ayat

Dalam surat Al-Baqarah ayat 168 dijelaskan bahwa manusia harus mencari makanan yang halal lagi baik. Makanan yang halal ialah lawan dari yang haram; yang haram telah pula disebutkan dalam al-Qur’an, yaitu yang tidak disembelih, daging babi, darah, dan yang disembelih untuk berhala.

Riwayat yang disampaikan oleh Ibnu Mardawaihi daripada Ibnu Abbas, bahwa tatkala ayat ini dibaca orang dihadapan Nabi SAW, yaitu ayat: ”Wahai seluruh manusia, makanlah dari apa yang di bumi ini, yang halal lagi baik,” maka berdirilah sahabat Rasulullah yang terkenal, yaitu Sa’ad bin Abu Waqash. Dia memohon kepada Rasulullah supaya beliau memohon kepada Allah agar apa saja permohonan doa yang disampaikannya kepada Allah, supaya dikabulkan oleh Allah. Maka berkatalah Rasulullah SAW : ”Wahai Sa’ad ! Perbaikilah makanan engkau, niscaya engkau akan dijadikan Allah seorang yang makbul doanya. Demi Allah, yang jiwa Muhammad ada dalam tanganNya, sesungguhnya seorang laki-laki yang melemparkan suatu suapan yang haram ke dalam perutnya, maka tidaklah akan diterima amalnya selama empatpuluh hari. Dan barangsiapa di antara hamba Allah yang bertumbuh dagingnya dari harta haram dan riba, maka api lebih baik baginya.”

Artinya, lebih baik makan api daripada makan harta haram. Sebab api dunia belum apa-apa jika dibandingkan dengan api neraka.

Penting sekali peringatan ini, kecurangan-kecurangan, penipuan dan mengelabui mata yang bodoh, banyak ataupun sedikit adalah hubunganya dengan perut asal berisi. Berapa perbuatan curang terjadi di atas dunia ini oleh karena mempertahankan syahwat perut. Maka apabila manusia telah mengatur makan minumnya, mencari dari sumber yang halal, bukan dari penipuan, bukan dari apa yang di zaman modern ini dinamai korupsi, maka jiwa akan terpelihara daripada kekasarannya.

Kemudian diperingatkan pula supaya jangan menuruti langkah-langkah yang digariskan oleh syaitan. Sebab syaitan adalah musuh yang nyata bagi manusia. Kalau syaitan mengajakkan satu langkah, pastilah itu langkah membawa ke dalam kesesatan.

Tentang langkah-langkah Syaitan itu, menurut riwayat dari Ibnu Abi Hatim apapun yang menyalahi isi al-Qur’an. Menurut tafsiran dari Ikrimah: langkah-langkah syaitan ialah segala rayuan syaitan. Menurut Qatadah, segala maksiat yang dikerjakan.menurut Said bin Jubair ialah segala perbuatan buruk yang dibagus-baguskan Syaitan.[5]

2.    Al-Baqarah: 172

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

Artinya            :

“Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepada kamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.”[6]

v Kosa kata

Arti

Lafadz

Arti

Lafadz

Dan bersyukurlah

وَاشْكُرُوا

wahai

يَا أَيُّهَا

Kepada Allah

لِلَّهِ

Orang-orang yang

الَّذِينَ

Jika

إِنْ

Beriman

آمَنُوا

Kalian

كُنْتُمْ

Makanlah

كُلُوا

Kepada-Nya

إِيَّاهُ

Dari yang baik-baik

مِنْ طَيِّبَاتِ

Menyembah

تَعْبُدُونَ

Apa yang kami rezekikan pada kalian

مَا رَزَقْنَاكُمْ

v Asbāb al-Nuzūl

Penjelasan tentang makanan-makanan yang diharamkan tersebut dikemukakan dalam konteks mencela masyarakat Jahiliyah, baik di Mekkah maupun di Madinah, yang memakannya. Mereka misalnya membolehkan memakan binatang yang mati tanpa disembelih dengan alasan bahwa yang disembelih atau dicabut nyawanya oleh manusia halal, maka mengapa haram yang dicabut sendiri nyawanya oleh Allah? Penjelasan tentang keburukan ini dilanjutkan dengan uraian ulang tentang mereka yang menyembunyikan kebenaran, baik menyangkut kebenaran Nabi Muhammad, urusan kiblat, haji dan umroh, maupun menyembunyikan atau akan menyembunyikan tuntunan Allah menyangkut makanan.Orang-orang Yahudi misalnya, menghalalkan hasil suap, orang-orang Nasrani membenarkan sedikit minuman keras, kendati dalam kehidupan sehari-hari tidak sedikit dari mereka yang meminumnya dengan banyak.[7]

v Munāsabah

Seperti penegasan pada ayat-ayat alquran bahwa Allah adalah Tuhan Yang Satu, Dialah pencipta alam semesta ini, juga telah dijelaskan siapa saja yang mengambil Tuhan selain Allah maka dia akan mendapat balasannya yang setimpal. Dan pada ayat sebelumnya menjelaskan bahwa Allah adalah pemberi rezeki kepada manusia dan makhluk yang lain, sekaligus Allah menerangkan mana makanan yang halal dan mana yang haram.

Allah juga membolehkan manusia seluruhnya memakan makanan yang telah diberikan Allah di bumi ini, yang halal dan yang baik saja, serta meninggalkan yang haram, sebab yang haram itu sudah jelas. Juga agar manusia tidak mengikuti langkah-langkah setan, dalam hal makanan, sebab setan itu adalah musuh mereka. Oleh sebab itu, setan tidak pernah menyuruh kepada kebaikan. Bahkan dia hanya menyuruh kepada kejelekan. Dan setan itu juga menyuruh manusia agar menghalalkan atau mengharamkan sesuatu sesuai dengan kehendak manusia tanpa perintah dari Allah. Bahkan menyuruh manusia agar mengatakan bahwa itu adalah syariat Allah, sebagaimana telah dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan musyrikin Quraisy.

Dalam al-Baqarah 168-169 dikatakan makanan yang diperbolehkan atau yang halal dari apa-apa yang terdapat di bumi kecuali yang sedikit yang dilarang karena berkaitan dengan hal-hal yang membahayakan dan telah ditegaskan dalam nash syara’ adalah terkait dengan akidah, sekaligus bersesuaian dengan fitrah alam dan fitrah manusia. Allah menciptakan apa-apa yang ada di bumi bagi manusia. Oleh sebab itu, Allah menghalalkan apa yang ada di bumi, tanpa ada pembatasan tentang yang halal ini, kecuali masalah khusus yang berbahaya. Dan apabila yang di bumi ini tidak dihalalkan maka hal ini melampaui daerah keseimbangan dan tujuan diciptakannya bumi untuk manusia.

Pada ayat ini selanjutnya ditujukan kepada kaum muslimin saja supaya menikmati rezeki Allah yang bermanfaat dan diarahkannya untuk mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Serta dijelaskan kepada mereka apa yang diharamkan atas mereka, yaitu apa-apa yang tidak baik dan tidak dihalalkan bagi mereka. Kemudian diancamnya orang-orang Yahudi yang menyanggah mereka mengenai makan yang baik-baik dan yang haram ini, yang semuanya sudah termaktub dalam kitab mereka.

Pelarangan tentang akan sesuatu yang tidak baik ini bukan karena Allah menginginkan agar mereka mengalami kesulitan dan kesempitan mencari rezeki, sebab Allah sendirilah yang melimpahkan rezeki kepada mereka. Allah menginginkan mereka agar sebagai hamba bisa mensyukuri apa-apa yang bersal dari Allah dan agar mereka betul-betul beribadah semata-mata kepada Allah tanpa ada penyekutuan. Maka Allah mewahyukan kepada mereka bahwa syukur itu adalah termanifestasikan dengan ibadah dan taat serta ridha dengan apa-apa yang dari Allah (al-baqarah 172).
Kemudian Allah melanjutkan penjelasan tentang apa-apa yang diharamkan dari makanan dengan suatu bentuk nash yang di batasi dengan penggunaan a’atul qashri perangkat pembatasan yakni “innamaa”, yaitu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut suatu (nama) selain Allah.[8]

v Kandungan Ayat

Di dalam ayat ini, khitab Allah ditujukan kepada orang-orang yang beriman secara khusus. Mereka ini akan lebih sensitif pemahamannya, disamping bias menerima hidayah. Karenanya, Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman agar memakan barang-barang yang halal dan bersyukur kepada Allah atas karunia yang dilimpahkan kepada mereka. Kemudian Allah menjelaskan makanan yang diharamkan. Sebagaimana pemberitahuan, bahwa makanan yang diharamkan itu berjumlah sedikit, dan kebanyakan makanan yang merupakan ciptaan Allah itu dihalalkan.[9]

Di dalam ayat 172 ditegaskan agar seorang mukmin makan makanan dari rizki yang baik-baik yang diberikan oleh Allah kepadamu dan bersyukurlah kepadaNya jika benar benar kamu berbakti kepadaNya.

Yang dimaksud rizki yang baik-baik  “At Thayyibat” yaitu rizki yang halal , maka setiap yang dihalalkan Allah adalah rizki yang baik dan setiap yang diharamkan adalah rizki yang buruk (khabits). Umar bin Abdul Aziz berkata : yang dimaksud ayat ini adalah  “usaha yang halal, bukan makanan yang halal. Penafsiran ini diperkuat oleh hadits yang artinya: “Sesungguhnya Allah itu dzat yang Maha bagus, ia tidak menerima melainkan apa yang bagus, dan bahwasannya Allah menyuruh orang-orang mukmin sebagaimana ia menyuruh para rasulNya. Lalu ia membawa  (firman Allah) “Hai Rasul-rasul, makanlah rizki yang baik-baik dan beramallah sholeh” (QS.23.51) dan ia membaca (firman Allah) “Hai orang-orang yang beriman, makanlah dari rizki yang baik-baik”, (Al Baqarah, 2:172), kemudian ia menyebut seorang laki-laki  yang lama diperjalanan, rambutnya kusut, berdebu, menengadah ke langit, Ya Rabbi, Ya Rabbi, sedang makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan diberi makanan yang haram, maka mana mungkin (do’anya itu) akan dikabulkan.” (HR. Ahmad, Muslim dan Tirmidzi)

Allah telah menyeru orang-orang yang beriman agar menerima hukum syariat Allah, juga agar mengambil apa yang halal dan meninggalkan yang haram. Dan, Allah mengingatkan kepada mereka bahwa Dia sematalah pemberi rezeki dan membolehkan kepada mereka memanfaatkan makanan-makanan yang baik dari apa yang telah Dia rezekikan. Maka, Allah memberitahu mereka bahwa Dia tidak melarang untuk mengambil yang baik dari rezeki itu dan Allah melarang hambaNya agar meninggalkan sesuatu yang tidak baik dari rezeki itu.

Pelarangan ini bukan karena Allah menginginkan agar mereka mengalami kesulitan dan kesempitan dalam mencari rezeki, tetapi agar mereka sebagai hamba bisa mensyukuri apa-apa yang berasal dari Allah dan agar mereka bisa betul-betul beribadah semata-mata karena Allah tanpa ada penyekutuan.

Di lain pihak, Allah melarang kita menjadikan sesuatu selain Allah sebagai sekutu-Nya, dan menjadikan sekutu itu sebagai tempat meminta-minta dan berdo’a ketika membutuhkan rizki, atau mengembalikan persoalan kepadanya ketika hendak menghalalkan atau mengharamkan sesuatu. Jika kita tidak mensyukuri nikmat-nikmat tersebut, bararti kita ini termasuk golongan musyrik dan orang yang ingkar terhadap nikmat-nikmat-Nya.[10]

B.  Surat Al-Tawbah: 34 ( Larangan Menimbun Harta)

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيْرًا مِنَ الأحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُوْنَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللَّهِ وَالَّذِيْنَ يَكْنِزُوْنَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُوْنَهَا فِي سَبِيْلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيْمٍ

Artinya  :

“Hai orang-orang yang beriman,sesungguhnya banyak dari al-ahbār dan rahib-rahibyang benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak lagi tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka gembiralah mereka dengan siksa yang peih.”[11]

v Kosa kata

Arti

Lafadz

Arti

Lafadz

Dan mereka menghalang-halangi

وَيَصُدُّوْنَ

Wahai

يَا أَيُّهَا

Dari jalan Allah

عَنْ سَبِيْلِ اللَّهِ

Orang-orang yang

الَّذِينَ

Dan orang-orang yang

وَالَّذِيْنَ

Beriman

آمَنُوا

Menyimpan

يَكْنِزُوْنَ

Sesungguhnya

إِنَّ

Emas

الذَّهَبَ

Kebanyakan

كَثِيْرًا

Dan perak

وَالْفِضَّةَ

Dari ulama-ulama Yahudi

مِنَ الأحْبَارِ

Dan mereka tidak menginfakkannya

وَلَا يُنْفِقُوْنَهَا

Dan rahib-rahib Nasrani

وَالرُّهْبَانِ

Di jalan Allah

فِي سَبِيْلِ اللَّهِ

Sungguh mereka memakan

لَيَأْكُلُوْنَ

Maka berilah mereka kabar gembira

فَبَشِّرْهُمْ

Harta

أَمْوَالَ

Dengan azab

بِعَذَابٍ

Manusia

النَّاسِ

Yang pedih

أَلِيْمٍ

Dengan batil

بِالْبَاطِلِ

v Asbāb al-Nuzūl

Ibnu Abbas menerangkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan para pendeta dari Ahli Kitab, mereka mengambil suap berupa makanan dari masyarakat awam, sedangkan pengujung ayat ini diturunkan berkenaan dengan Ahli Kitab dan kaum muslimin yang menimbun harta mereka. (HR. Ibnu Abi Hatim)

v Munāsabah

Pada ayat sebelumnya Allah menjelaskan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani menganggap pemimpin-pemimpin dan pendeta-pendeta mereka sebagai dewa, padahal mereka diperintahkan untuk tidak menyembah selain Allah. Orang Yahudi menganggap Uzair sebagai anak Allah. Demikian pula dengan orang Nasrani menganggap Isa Al-Masih sebagai anak Allah. Ayat ini menerangkan pula bahwa pemimpin mereka mempunyai sifat tamak dan mau mengambil harta orang lain secara batil disamping mereka sangat kikir dan suka menimbun harta.

 

 

v Kandungan Ayat

Pada ayat ini dijelaskan bahwa kebanyakan pemimpin dan pendeta orang yahudi dan nasrani telah sudah di pengaruhi oleh cinta harta dan pangkat. Oleh sebab itulah mereka tidak untuk segan-segan untuk menguasi harta milik orang lain yaitu dengan jalan tidak benar bahkan menghalalkan dari segala hal-hal yang di larang oleh agama, dan dengan terang-terangan mangalang-halangi manusia beriman kepada agama yang telah dibawa oleh Nabi Saw. Sebab apabila mereka membiarkan pengikut mereka membenarkan dan menerima dakwah islam tentulah mereka tidak dapat lagi bersikap sewenang-wenang kepadanya.

Adapun pemimpin-pemimpin dan pendeta Yahudi dan Nasrani upaya yang di lakukan untuk mendapatkan harta milik  orang lain diantaranya adalah:[12]

1.      Mereka membangun makam nabi-nabi dan pendeta-pendeta dan gereja-gereja yang di namai dengan nabi-nabi. Dengan hal sedemikian sehinga mereka mendapatkan hadiah nazar dan wakaf-wakaf yang elah di hadiah kepada mereka.

2.      Dan yang khusus dilakukan oleh nasrani adalah menerima uang dari seseorang sebagai imbalan yaitu atas pengampunan dosa yang telah di perbuatnya. Dengan syarat apabila seorang yang berdosa tersebut ia datang ke gereja dan menemui bapak pendeta dan mengakui di hadapannya semua dosa yang di perbuatnya.

3.      Imbalan memberikan fatwa-fatwa baik menghalalkan yang haram maupun yang mengharamkan yang halal sesuaian dengan keinginan raja-raja, penguasa-penguasa, dan orang-orang kaya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KESIMPULAN

1.    Islam memanggil manusia supaya suka makan hidangan besar yang baik, yang telah disediakan oleh Allah kepada mereka, yaitu bumi lengkap dengan isinya, dan kiranya manusia tidak mengikuti kerajaan dan jejak syaitan yang selalu menggoda manusia supaya mau mengharamkan sesuatu yang telah dihalalkan Allah, dan mengharamkan kebaikan-kebaikan yang dihalalkan Allah; dan syaitan juga menghendaki manusia supaya terjerumus dalam lembah kesesatan.

2.    Allah SWT memerintahkan mereka supaya suka makan yang baik dan supaya mereka suka menunaikan hak nikmat itu, yaitu dengan bersyukur kepada Zat yang memberi nikmat.

3.    Dilarang untuk  memakan atau mengambil harta orang  lain dengan jalan yang bathil (tidak benar), karena pada dasarnya perbuatan itu melangar hak milik orang lain. Mereka kelak akan mendapatkan siksa neraka yang sangat pedih akibat dari perbuatan mereka yang ketika masih dalam dunia mengumpulkan harta tidak untuk di jalan kebenaran , tidak untuk di jalan allah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

A, Bustami, Gani, Dkk. Al Qur’an dan Tafsirnya. Departemen R .I : Proyek Pengadaan Kitab Suci Al Quran, 1984.

Al-Marāghī, Ahmad Mustofa. Tafsīr Al-Marāghī, Terj. Anshori Umar Sitanggal dkk. Semarang: Karya Toha Putra, 1987.

Hamka. Tafsir Al Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002.

Mustafa, Ahmad. Tafsir Al Marāghī. Semarang: Karya Toha Putra, 1993.

Publishing, Sukses. Al-qur’an dan Terjemah. Jakarta: PT Dua Sukses Mandiri, 2012.

Quthb, Sayyid. Tafsīr Fī Dzilālil-Qur’an. Jakarta: Gema Insani, 2000.

RI, Kementerian Agama. Al-quran dan Tafsirnya. Jakarta: Widya Cahaya, 2011.

Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al Quran. Jakarta: Lentera Hati, 2002.



[1] Sukses Publishing, Al-Quran dan Terjemah (Jakarta: PT Dua Sukses Mandiri, 2012), 26.

[2]Ahmad Mustofa Al-Marāghī, Tafsīr Al-Marāghī, Terj. Anshori Umar Sitanggal dkk, Vol. 2 (Semarang: Karya Toha Putra, 1987), 71.

[3] Hamka, Tafsir Al Azhar, Vol. 2  (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002), 64.

[4] Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Tafsirnya  (Jakarta: Widya Cahaya, 2011), 247-248.

[5] Hamka, Tafsir Al-Ahzar, 62-64.

[6] Publishing, Al-Qur’an, 27.

[7] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al Qura, Vol. 1 (Jakarta:Lentera Hati, 2002), 386.

[8] Sayyid Quthb, Tafsīr Fī Dzilālil-Qur’an, Vol. 1 (Jakarta: Gema Insani, 2000), 184-186.

[9] Ahmad Mustafa, Tafsir Al Marāghī (Semarang: Karya Toha Putra, 1993), 80.

[10] Ahmad Mustafa, 82.

[11] Shihab, Tafsir Al-Mishbāh, 550-551.

[12] Bustami A, Gani, Dkk, Al Qur’an dan Tafsirnya (Departemen RI: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al Quran, 1984) 153.