Thursday, April 13, 2017

MAKALAH AKSIOLOGI

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Filsafat merupakan suatu ilmu pengetahuan yang bersifat ekstensial artinya sangat erat hubungannya dengan kehidupan kita sehari-hari. Bahkan, dapat dikatakan filsafatlah yang menjadi motor penggerak kehidupan kita sehari-hari sebagai manusia pribadi maupun sebagai manusia kolektif dalam bentuk suatu masyarakat atau bangsa. Dalam konteks filsafat hidup, orang selalu mempertimbangkan hal-hal yang penting sebelum menetapkan keputusan untuk berperilaku.

Makalah ini kami susun berdasarkan Tugas Mata Kuliah filsafat Umum, dengan sub bahasan “ Filsafat Axiologi”. Makalah ini dititik beratkan pada sifat subyektif atau obyektif.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian aksiologi?

2.      Apa sajakah teori-teori tentang nilai?

3.      Apa pengertian etika dan estetika?

C.    Tujuan Pembahasan

Tujuan dari makalah ini adalah:

1.      Untuk mengetahui pengertian aksiologi.

2.      Untuk mengetahui teori-teori tentang nilai.

3.      Mengetahui pengertian etika dan estetika.


BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Aksiologi

Aksiologi mempunyai beberapa pengertian, yaitu sebagai berikut:

1.      Aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi Aksiologi adalah “teori tentang nilai”.

2.      Arti aksiologi dalam bukunya Jujun S. Suriasumantri Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.

3.      Menurut Bramel, aksiologi terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yakni etika. Kedua, esthetic exspression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Ketiga, sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosio-politik.

4.      Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan, aksiologi disamakan dengan value and valuation. Ada tiga bentuk value and valuation.

a.       Nilai, digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit seperti, baik, menarik, dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakupi sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran, dan kesucian.

b.      Nilai sebagai kata benda konkrit. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai, ia sering kali dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya, nilai dia, dan sistem nilai dia. Kemudian dipaki untuk apa-apa yang memiliki nilai atau bernilai sebagaimana berlawanan dengan apa-apa yang tidak dianggap baik atau bernilai.

c.       Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai, dan dinilai. Menilai umumnya sinonim dengan evaluasi ketika hal tersebut secara aktif digunakan untuk menilai perbuatan. Dewey membedakan dua hal tentang menilai, ia bisa berarti menghargai dan mengevaluasi.[1]

Jadi, aksiologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang orientasi atau nilai suatu kehidupan. Aksiologi disebut juga teori nilai, karena ia dapat menjadi sarana orientasi manusia dalam usaha menjawab suatu pertanyaan yang amat fundamental. [2]

B.     Teori-teori tentang Nilai

Teori umum tentang nilai bermula dari perdebatan antara Alexius Meinong dengan Cristian von Ehrenfels pada tahun 1890-an berkaitan dengan sumber nilai. Meinong memandang bahwa sumber nilai adalah perasaan (feeling), atau perkiraan atau kemungkinan adanya kesenangan terhadap suatu objek. Ehrenfels (juga Spinoza) melihat bahwa sumber nilai adalah hasrat/keinginan (desire). Suatu objek menyatu dengan nilai melalui keinginan actual atau yang memungkinkan, artinya suatu objek memiliki nilai karena ia menarik. Menurut kedua pendapat tersebut, nilai adalah milik objek itu sendiri- objektivisme aksiologis.

1.      Objektivisme atau Realisme Aksiologi

Menurut pandangan ini, penetapan nilai merupakan sesuatu yang dianggap objektif. Objektif di sini dalam arti bahwa nilai-nilai itu dapat didukung oleh argumentasi cermat dan rasional konsisten sebagai yang terbaik dalam situasi itu. Nilai, norma, ideal, dan sebagainya merupakan unsur atau benda yang berada pada realitas objektif (kata Alexander); atau ia dianggap berasal dari suatu objek melalui ketertarikan (kata Spinoza). Penetapan suatu nilai memiliki makna, yakni benar atau salah, meskipun penilaian itu tidak dapat dijelaskan melalui suatu istilah tertentu.

Nilai-nilai seperti kebaikan, kebenaran, keindahan itu ada dalam dunia nyata dan dapat ditemukan sebagai entitas-entitas, kualitas-kualias, atau hubungan nyata, dalam bentuk (rupa) yang sama sebagaimana kita dapat menemukan objek-objek, kualitas-kualitas, atau hubungan-hubungan seperti meja, merah. Pendukung objektivisme aksiologis mencakup Plato, Aristoteles, St. Thomas Aquinas, Maritain, Rotce, Urban, Bosanquet, Whitehead, Joad, Spauling, Alexander dll.[3]

2.      Subjektivisme Aksiologis

Subjektivisme aksiologis cenderung mengabsahkan teori etika yang disebut hedonisme, sebuah teori yang menyatakan kebahagiaan sebagai kriteria nilai, dan naturalisme yang meyakini bahwa suatu nilai dapat direduksi ke dalam suatu pernyataan psikologis. Nilai tergantung pada dan berhubungan denan pengalaman menusia tentangnya; nilai tidak memiliki relitas yang independen. Yang ditekankan dalam relativisme aksiologis adalah keyakinan bahwa nilai termasuk nilai moral, terkait dengan budaya, lingkungan, dan factor-faktor lain yang melingkupinya.

Tokoh pendukung subjektivisme aksiologis adalah Hume, Perry, Prail, Parker, Santayana, Sartre dll.

3.      Relasionisme Aksiologis

Pandangan ini berasal dari teori yang menyatakan bahwa nilai adalah hubungan saling terkait antara variabel-variabel atau sebuah produk dari variabel-variabel yang saling berinteraksi. Nilai tidak bersifat privat (subjektif), tetapi bersifat public, meskipun tidak bersifat objektif dalam arti terlepas dari berbagai kepentingan.

Pendukung relasionisme aksiologis adalah Dewey, Pepper, Ducasse, Lepley, dll.

 

 

4.      Nominalisme atau Skeptisisme (Emotivisme Aksiologis)

Teori yang didasarkan pada pandangan ini mengatakan bahwa penentuan nilai adalah ekspresi emosi atau usaha untuk membujuk. Yang semuanya itu tidak factual. Ilmu tentang nilai (aksiologi) adalah mustahil.

Catatan sejarah menyebutkan asal mula emotivisme, yaitu berasal dari logika positivisme: bahwa nilai adalah sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dan bersifat emotif, meski memiliki makna secara factual. Nilai sama sekali tidak dapat digambarkan sebagai keadaan suatu subjek, objek, ataupun sebagai hubungan.

Pendukung emotivisme aksiologis adalah Nietzsche, Ayer, Russel, Stevenson, Schlick, Carnap, dll.

5.      Nilai dan Kebaikan

Filsafat nilai pada zaman modern (Max Scheler) yang bermula dari Lotze membuat pembedaan tajam antara nilai dan kebaikan. Menurut padangan ini berbagai “kebaikan” merupakan milik tatanan eksistensial. Sedangkan nilai-nilai bertentangan dengan tatanan ini dalam “kemandirian mutlak” (mutlak independent) dan menentukan bidangnya sendiri.

Di sini kita bertemu dengan sejenis ide nilai Platonis yang sangat mencolok, karena nilai-nilai dalam arti ini dipikirkan sebagai ide-ide dari dunia lain yang dapat diperkenalkan kepada dunia nyata dengan peralatan manusia. Pandangan ini dinamakan teori “Idealisme nilai” sedangkan lawannya adalah realisme nilai atau lebih baik, metafisika nilai, yang mengatasi pemisahan nilai dari yang ada (al-mawjud).[4]

6.      Segi metafisik

Menegaskan sisi metafisik dari nilai itu perlu karena beberapa pemikir condong menganggap eksistensi dalam arti positivisme yakni hanya sebagai realitas yang dialami sekarang tanpa meneliti keharusan yang paling hakiki.

Pada dasarnya nilai dapat dianggap sebagai eksistensi (wujud) sendiri sejauh eksistensi berarti kesempurnaan karena isi objektifnya dan karena merupakan daya tarik bagi hasrat atau keinginan.

7.      Nilai dan Persepsi

Ciri khusus dari presepsi nilai kita, tergantung pada sifat hakiki nilai itu sendiri. Kalau nilai terpisah dari eksistensi, nilai sama sekali tidak dapat dimasuki oleh akal manusiawi yang tertuju pada eksistensi. Berdasarkan kenampakannya yang hanya kepada perasaan emosional, nilai dibagi menjadi dua jenis yaitu irasionalisme-nilai dan rasionalisme-nilai (mereduksi ciri khusus nilai pada eksistensinya saja).

Diantara kedua ekstrim ini terdapat hal seperti : persepsi intelektual terhadap nilai. Dalam pandangan ini, nilai dilihat dengan intelek karena objek intelek adalah yang ada dan yang ada menurut kodratnya bernilai. Namun, pandangan ini tidak dapat menjadi penjelasan menyeluruh mengenai nilai. Karena, nilai menyempurnakan yang ada dan karenanya hanya menemukan jawaban yang seluruhnya sesuai dengan yang ada bilamana nilai juga berkaitan dengan emosi-emosi dan dengan kehendak. Karena itu persepsi nilai intelektual selalu dikondisikan oleh emosi dan hasrat.

8.      Nilai dan Non-Nilai

Pertentangan antara nilai dan non-nilai dan prioritas satu nilai atas nilai yang lain merupakan soal-soal lain dari soal nilai seluruhnya. Nilai didasarkan atas tatanan yang ada dan kegiatan insane yang diukur oleh nilai. Penyimpangan dari tatanan yang ada berarti non-nilai dan akhirnya mengarah kepada kesalahan moral. Sehubungan dengan prioritas satu nilai atas nilai yang lainnya, derajat nilai bertautan dengan derajat yang ada. Pada bidang yang lebih resmi, dibuat pembedaan antara nilai pribadi, nilai kesenangan, dan nilai kegunaan.

Nilai pribadi dicari demi kepentingan nilai itu sendiri. Nilai kesenangan tergantung pada nilai pribadi dan tatkala dimiliki nilai itu menghasilkan kebahagiaan. Nilai kegunaan membantu nilai pribadi sebagai alat menuju tujuan. Nilai urutan naik: ekonomi, fisik, rohani (yang benar, yang indah, yang baik secara moral), nilai-nilai religious( yang suci; kudus; sacral; transcendental; perennial). Urutan prioritas ini didasarkan atas tatanan yang ada dimana nilai-nilai religious menduduki tempat tertinggi. Karena, nilai-nilai religious langsung berkaitan dengan kebaikan tak terbatas (Allah).

9.      Nilai instrumental

Nilai instrumental mempunyai beberapa pengertian:

1.      Nilai yang dimiliki suatu hal dalam menghasilkan akibat-akibat atau hasil-hasil yang diinginkan.

2.      Suatu nilai yang dikenakan pada suatu yang digunakan sebagai alat yang memperoleh suatu yang diinginkan atau dapat diinginkan. Nilai instrumental tidak perlu menjadi nilai instrinsik, tetapi dapat menjadi nilai netral tau bahkan secara instrinsik tidak bernilai.

10.  Nilai Utilitarian

Beberapa pengertian:

1.      Nilai yang dipunyai oleh suatu hal yang berguna bagi penuhan sebuah tujuan.

2.      Nilai yang dimiliki suatu hal dalam memajukan kebaikan terbesar dari jumlah besar.[5]

 

3.      Etika dan Estetika

Masalah yang paling banyak dibicarakan antara lain mengenai kebaikan perilaku, keindahan karya seni, dan kekudusan atau kesucian religius. Adapun masalh yang akan dikemukakan disini adalah pendapat dari Langeveld, bahwa aksiologi terdiri atas dua hal utama, yaitu etika dan estetika. Keduanya merupakan masalah yang paling banyak ditemukan dan dianggap penting dalam kehidupan sehari-hari.

a.       Etika

Etika adalah bagian filsafat nilai dan penilaian yang membicarakan perilaku orang. Semua perilaku mempunyai nilai dan tidak bebas dari penilaian. Jadi tidak benar suatu perilaku dikatakan etis dan tidak etis. Lebih tepat, perilaku adalah beretika baik atau beretika tidak baik. Sejalan dengan perkembangan penggunaan bahasa yang berlaku sekarang, istilah tidak etis dan tidak etis tidak baik untuk hal sama. Demikian juga etis dan etis baik.

Perlu diingat, bahwa pada banyak wacana dalam hal perilaku ini digunakan istilah baik dan jahat untuk etika karena perbuatan manusia yang tidak baik akan berarti merusak, sedangkan perbuatan yang baik akan berarti membangun.

Dalam Craig (2005), menurut Crisp ada beberapa etika falsafiah yang bersifat luas dan umu, serta berupaya untuk mendapatkan prinsip-prinsip umum atau keteerangan-keterangan dasar mengenai moralitas, cenderung lebih menfokuskan pada analisis atas masalah sentral pada etika itu sendiri. Misalnya, masalah otonomi. Perhatian terhadap pemerintahan sejajar dengan masalah-masalah yang menyangkut diri (self), hakikat moral, dan relasi etis masalah lain. Topic lain juga termasuk masalah ini adalah ideal moral, makna pahala, responsibilitas moral. 

b.      Estetika

Estetika merupakan bagian aksiologi yang membicarakan permasalahan (Russel), pertanyaan (Langer), atau issues (Farber) mengenai kehidupan, menyangkut ruang lingkup, nilai, pengalaman, perilaku, dan pemikiran seniman, seni, serta persoalan estetika dan seni dalam kehidupan manusia (The Liang Gie, 1976).[6]

Dalam Craig (2005), Marcia Eaton menyatakan, bahwa konsep-konsep estetika merupakan konsep-konsep yang berkaitan dengan deskripsi dan evaluasi objek serta kejadian artistic dan esteika. Emund Burke dan David Hume pernah membicarakan masalah estetika ini dengan cara menjelaskan konsep estetika secara empiric, yaitu dengan cara mengamati respons psikologis dan fisik yang dapat membedakan individu satu dengan yang lainnya untuk objek dan kejadian berbeda. Mereka berupaya untuk melihat estetika ini dalam sudut pandang objektif. Sebaliknya, Immanuel Kant berpendapat, bahwa konsep estetika itu bersifat subjektif, tetapi ia menyatakan bahwa pada taraf dasar manusia secara universal memiliki perasaan yang sama terhadap apa yang membuat mereka nyaman dan senang ataupun menyakitkan dan tidak nyaman.           

Konsep estetika merupakan konsep-konsep yang berasosiasi dengan istilah-istilah yang mengangkat kelengkapan estetik yang mengacu pada deskripsi dan evaluasi mengenai pengalaman-pengalaman yang melibatkan objek, serta kejadian artistik, dan estetik. 


KESIMPULAN

1.      Aksiologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang orientasi atau nilai suatu kehidupan. Aksiologi disebut juga teori nilai, karena ia dapat menjadi sarana orientasi manusia dalam usaha menjawab suatu pertanyaan yang amat fundamental

2.      Teori-teori dalam aksiologi:

a.       Objektivisme atau Realisme aksiologis

b.      Subjektivisme aksiologis

c.       Relasionisme Aksiologis

d.      Nominalisme atau Emitivisme Aksiologis

e.       Nilai dan Kebaikan

f.       Segi Metafisik

g.      Nilai dan Persepsi

h.      Nilai dan Non-Nilai

i.        Nilai Instrumental

j.        Nilai Utilitarian

3.      Etika adalah bagian filsafat nilai dan penilaian yang membicarakan perilaku orang. Sedangkan Estetika merupakan bagian aksiologi yang membicarakan permasalahan, pertanyaan, atau issues mengenai kehidupan, menyangkut ruang lingkup, nilai, pengalaman, perilaku, dan pemikiran seniman, seni, serta persoalan estetika dan seni dalam kehidupan manusia.


DAFTAR PUSTAKA

Adib, Mohammad. 2011. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Belajar      

Bakhtiar, Amsal. 2005. Filsafat Ilmu. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Faruk, Ahmad. 2006. Traktat Filsafat Umum Penelusuran Tematis. Ponorogo: STAIN Po PRESS

________. 2009. Filsafat Umum: Sebuah Penelusuran Tematis. Ponorogo: STAIN Po Press

 

No comments:

Post a Comment

terimakasih telah berkunjung ke blog saya, jangan lupa tinggalkan komentar ya sahabat :)