Thursday, April 13, 2017

MAKALAH ALIRAN MU'TAZILAH

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Mu’tazilah

Kata mu’tazilah secara bahasa berasal dari bahasa Arab اعتزل yang berarti memisahkan diri. Sedangkan معتزلة adalah orang-orang yang memisahkan diri.[1] Nama nama mu’tazilah bukan ciptaan orang-orang Mu’tazilah sendiri, tetapi diberikan oleh orang lain.[2] Sedangkan orang-orang mu’tazilah sendiri menamakan dirinya اَهْلُ العَدْلِ وَ التَوْحِدِ yaitu ahli keadilan dan keesaan.[3]

Mu’tazilah secara istilah diartikan dengan berbagai macam definisi, antara lain:

a.       Mu’tazilah : Orang-orang menyalahi pendapat sebagian besar umat, dan mengatakan bahwa orang fasik, yaitu orang yang melakukan dosa besar, tidak mukmin tidak pula kafir.

b.      Mu’tazilah : Golongan yang memisahkan diri dari Hasan Basri yaitu para pengikut Washil bin Atho’.

c.       Mu’tazilah : Orang-orang yang memisahkan diri dari dari ketergantungan terhadap keduniaan, yaitu melalui ketaqwaan, zuhud, kesederhanaan, serta merasa puas dengan yang ada.[4]

d.      Mu’tazilah : Orang-orang yang tidak mau melibatkan diri dalam perang jamal maupun perang Siffin, karena mereka belum dapat mengetahui dengan jelas mana yang benar dan mana yang salah.

B.     Sejarah Munculnya dan Perkembangan Mu’tazilah

Mu’tazilah merupakan salah satu firqah Islamiah yang memiliki ciri metode tersendiri dalam berakidah. Dalam memahami masalah-masalah aqidah, mereka sangat cenderung untuk menggunakan akal pikiran. Metode berpikir mereka sangat dipengaruhi filsafat Yunani. Mu’tazilah selalu berusaha mengkompromikan antara pemikiran-pemikiran Islam dengan pemikiran-pemikiran Yunani. Mereka sangat giat memperlajari filsafat Yunani untuk mempertahankan pendapat-pendapat mereka dan ajaran-ajaran Islam.

Munculnya aliran Mu’tazilah menunjuk pada dua golongan. Golongan pertama (selanjutnya disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan politik ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya. Golongan inilah yang mula-mula disebut Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khalifah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh di kemudian hari.[5]

Golongan kedua (selanjutnya disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon dari persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Murji’ah akibat adanya tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan khawarij dan murji’ah tentang pemberian status kafir kepada orang yang berbuat dosa besar.

Pendapat lain mengatakan bahwa sejarah awal perkembangan Mu’tazilah tak dapat dilepaskan dari nama Washil bin Atho. Dialah pemimpin pertama Mu’tazilah. Washil adalah murid Hasan Basri. Suatu ketika, salah seorang murid Hasan Basri menanyakan tentang pandangan agama terhadap seseorang yang melakukan dosa besar. Hasan Basri memberi jawaban bahwa pelaku dosa besar tersebut dikategorikan sebagai munafik. Iapun menyanggah dan mengemukakan pendapatnya, bahwa orang yang melakukan dosa besar berarti bukan lagi seorang muslim secara mutlak dan bukan pula kafir secara mutlak. Karena ketidakpuasan atas jawaban Hasan Basri tersebut, Atho’ kemudian memisahkan diri dari gurunya tersebut bersama orang-orang yang menyetujui pendapatnya tersebut. Kemudian muncullah aliran Mu’tazilah.

Sebagaimana telah disebutkan bahwa awal pemunculannya Mu’tazilah jauh dari arena politik. Namun ketidakterlibatan mereka dengan dunia politik tidak berlangsung lama. Setelah mereka menjadi kuat pengaruh mereka mulai menyusup ke pusat kekuasaan Daulah Bani Umayyah. Mereka mendekati khalifah Walid bin Yazid, hingga akhirnya Walid pun memeluk aliran Mu’tazilah. Tidak hanya Walid saja yang terpengaruh aliran Mu’tazilah, Marwan bin Muhammad, khalifah terakhir Daulah Bani Umayyah, serta beberapa pemegang kekuatan politik lainnya, juga menjadi pengikut Mu’tazilah. Dengan keterlibatan para khalifah ini, maka aliran Mu’tazilah telah sepenuhnya menceburkan diri di kancah politik dan kekuatan yang mereka miliki sedikit banyak adalah karena dukungan para khalifah.[6]

Runtuhnya Daulah Bani Umayyah dan bangkitnya Daulah Abbasiyah ternyata tidak membuat surut langkah politik Mu’tazilah. Bahkan sebaliknya mereka justru melangkah lebih jauh dalam arena politik. Dimulai di Basrah kemudian berdiri cabang sampai ke Baghdad. Orang Mu’tazilah Basrah bersikap hati-hati dalam menghadapi masalah politik, kelompok Mu’tazilah di Bagdad justru terlibat jauh. Ketika Basyir Al Murasyi, seorang tokoh Mu’tazilah, menyatakan pendapatnya yang controversial tentang Al-Qur’an yaitu AL-Qur’an adalah makhluk, Harun Al-Rasyid pun mengancam akan membunuhnya.

Namun konflik tersebut tidak berlangsung lama. Bahkan akhirnya Mu’tazilah dapat mempengaruhi khalifah Bani Abasiyyah untuk masuk dalam aliran tersebut seperti khalifah Al Makmun dan khalifah Al Mu’tashim. Kalifah Al-Makmun sangat tertarik pada filsafat Yunani. atas dorongan seorang hakim Mu’tazilah yaitu ibn Abi Duwad, pada tahun 872 M Al Makmun memproklamasikan pandangan tentang kemakhlukan Al Qur’an. Untuk mempertahankan dan menyebarkan pandangannya tersebut, pada tahun 833 Al Makmun melembagakan mihnah yaitu semacam lembaga pengadilan bagi orang-orang yang menolak pahamnya. salah satu korbannya adalah Ahmad Ibn Hambal, seorang tokoh yang berpegang teguh pada pandangan ortodoks.

Golongan-golongan yang menentang Mu’tazilah tersebut ternyata mempengaruhi Mu’tazilah sendiri. Hal ini karena pendapat dan pikiran selalu bekerja baik terhadap kawan maupun lawan. Seperti teori John of Damaskus yang mengatakan bahwa Tuhan adalah Zat yang baik, menjadi sumber kebaikan dan tidak dapat mengerjakan keburukan. Manusia bebas berbuat dan memilih yang akan dimintai pertanggungjawaban. Hal ini kemudian dijadikan ajaran dalam aliran Mu’tazilah.

Setelah beberapa puluh tahun lamanya golongan Mu’tazilah mencapai kepesatan dan kemegahan, akhirnya mengalami kemunduran. Kemunduran ini terjadi akibat kesalahan mereka sendiri. Mereka membela dan memperjuangkan kebebasan berpikir tetapi mereka sendiri memusuhi orang-orang yang tidak mengikuti pendapat-pendapat mereka.

Sekalipun metode rasional sangat dominan di kalangan Mu’tazilah, namun sebagai teolog Islam para tokohnya tidak melupakan teks-teks wahyu (Al-Qur’an dan hadist) dalam memformulasikan pendapatnya. Keduanya diyakini sebagai sumber pokok kepercayaan yang mereka yakini kebenarannya. Hanya saja sesuai dengan prinsip rasionalitasnya ayat-ayat al-Qur’an yang sesuai dan diterima akal dijadikan sebagai pendukung pandangannya sedangkan yang tidak demikian mereka ta’wilkan secara rasional atau dilewatkan begitu saja.[7]

C.    Pokok-pokok Ajaran Mu’tazilah

Aliran Mu’tazilah mempunyai lima pokok ajaran yang disebut dengan ushulul khamsah. Kelima ajaran dasar Mu’tazilah yang tertuang dalam al-ushul al khamsah adalah at-tauhid (pengesaan Tuhan), al-adl (keadilan Tuhan), al waad wa al-wa’id (janji dan ancaman Tuhan), al-manzilah bain al manzilatain (posisi di antara dua posisi), dan al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy an al-munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran).[8]

1.      At-tauhid

At-tauhid (pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dan intisari ajaran Mu’tazilah. Sebenarnya tauhid ini bukan milik khusus golongan Mu’tazilah. Tauhid adalah dasar Islam pertama dan utama. Tetapi karena mereka menafsirkannya sedemikian rupa dan mempertahankannya dengan sungguh-sungguh maka mereka terkenal sebagai ahli tauhid.

Mereka mengingkari sifat azali yang dimiliki Allah, seperti sifat Ilmu, qudrah, hidup, mendengar, dan melihat bukan DzatNya.

 

 

 

2.      Adl ( Keadilan)

Allah Maha Adil, dan keadilanNya mengharuskan manusia memiliki kekuasaan untuk berbuat sesuai dengan kehendaknya sendiri.[9] Ajaran keadilan ini berkait erat dengan beberapa hal,[10] yaitu:

a.       Perbuatan manusia

Manusia menurut Mu’tazilah, melakukan dan melaksanakan  perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan baik secara langsung ataupun tidak. Manusia bebas memilih, bebas berkehendak, dan bertanggung jawab atas pilihan atau kehendaknya itu.

b.      Berbuat baik dan terbaik

Dalam istilah Arabnya, berbuat baik dan terbaik disebut ash shalah wa al-ashlah. Maksudnya adalah kewajiban Tuhan untuk berbuat baik bahkan terbaik bagi manusia. Tuhan tidak mungkin jahat dan aniaya karena akan menimbulkan kesan Tuhan Penjahat dan Penganiaya, sesuatu yang tidak layak bagi Tuhan.

c.       Mengutus rasul

Mengutus rasul kepada manusia adalah kewajiban Tuhan, karena:

1.      Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia dan hal itu tidak dapat terwujud, kecuali dengan mengutus rasul kepada mereka.

2.      Al Qur’an secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk memberikan belas kasih kepada manusia (QS Asy Syu’ara: 29). Cara yang terbaik untuk maksud tersebut adalah dengan pengutusan rasul.

3.      Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Agar tujuan tersebut berhasil, tidak ada jalan lain selain mengutus rasul.

3.      Wa’d wal Wa’id (Janji dan Ancaman)

Ajaran tersebut dipegang oleh kaum Mu’tazilah adalah untuk membuktikan keadilan Tuhan sehingga manusia dapat merasakan balasan Tuhan atas segala perbuatannya.[11] Ajaran ketiga ini tidak memberi peluang bagi Tuhan, selain menunaikan janji-janjiNya, yaitu memberi pahala orang yang taat dan menyiksa orang yang berbuat maksiat, kecuali orang yang sudah bertobat nasuha. Ajaran ini tidak percaya adanya syafaat sebab syafaat berlawanan dengan janji dan ancaman.

4.      Al-Manzilah baina Manzilatain (Tempat diantara dua tempat)

Pokok ajaran ini adalah bahwa mukmin yang melakukan dosa besar dan belum tobat bukan lagi mukmin atau kafir tetapi fasik. Hal ini karena keimanan menuntut adanya kepatuhan kepada Tuhan, tidak cukup hanya pengakuan dan pembenaran. Berdosa besar bukanlah kepatuhan tetapi kedurhakaan. Pelakunya juga tidak dapat dikatakan sebagai kafir secara mutlak karena mereka masih percaya kepada Tuhan, rasulNya, dan mengerjakan perbuatan yang baik.

5.      Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Amar ma’ruf nahi munkar adalah menyuruh kebaikan dan melarang kemunkaran. Ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Perbedaan aliran Mu’tazilah dengan aliran lain mengenai ajaran kelima ini terletak pada tatanan pelaksanaannya. Menurut mereka orang yang menyalahi pendirian mereka dianggap sesat dan harus dibenarkan serta diluruskan. Bahkan jika memang diperlukan, kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut. mereka berpegang pada hadist yang berbunyi[12]:

مَنْ رَاءَ مِنْكُمْ مُنْكَرًافَلْيُغَيِرْهُ بِيَدِهِ

"Siapa diantaranya yang melihat kemunkaran maka ubahlah dengan tanganmu”

Sejarahpun telah mencatat kekerasan yang dilakukannya ketika menyiarkan ajaran-ajarannya. Diantaranya adalah Syekh Buwaithi seorang ulama pengganti Imam Syafi’I dan Ahmad Ibn Hambal, seorang tokoh yang berpegang teguh pada pandangan ortodoks dalam peristiwa Qur’an Makhluk.

D.    Dalil Naqli dari Aliran Mu’tazilah

Ketidak terlibatan aliran Mu’tazilah dalam perang Siffin adalah karena mereka belum dapat mengetahui dengan jelas mana yang benar dan mana yang salah diantara dua pihak yang bertikai itu. Dalam hal ini mereka bersandar pada firman Allah Q.S Al Hujurat ayat 9.[13] yaitu:

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Artinya: “Dan jika ada dua golongan dari orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah: jika golongan itu telah kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (Q.S Al Hujurat: 9)

Sedangkan untuk dasar Amar Ma’ruf Nahi Munkar mereka berpegang pada QS Al Imran: 104 dan Lukman: 17.


KESIMPULAN

1.      Mu’tazilah secara bahasa berasal dari bahasa Arab I’tizal yang artinya memisahkan diri. Sedangkan Mu’tazilah artinya orang-orang yang memisahkan diri.

2.      Sejarah munculnya aliran Mu’tazilah ada dua versi. Pertama muncul sebagai respon politik murni. Golongan politik ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya. Kedua muncul sebagai respon dari persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Murji’ah akibat adanya tahkim.

3.      Aliran Mu’tazilah mempunyai lima pokok ajaran yang disebut dengan ushulul khamsah yaitu at-tauhid (pengesaan Tuhan), al-adl (keadilan Tuhan), al waad wa al-wa’id (janji dan ancaman Tuhan), al-manzilah bain al manzilatain (posisi di antara dua posisi), dan al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy an al-munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran)

4.      Dalil naqli aliran Mu’tazilah adalah Q.S Al Hujurat : 9, QS Al Imran: 104 dan Lukman: 17.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rozak dan Rosihon Anwar. 2001. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia

Ahmad, Muhammad. 1998. Tauhid Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia

As Syak’ah, Mustofa Muhammad. 1994. Islam tidak bermadzhab. Jakarta: Gema Indani Pers

Ghazali, Adeng Mukhtar. 2005. Perkembangan Ilmu Kalam dari Klasik hingga Modern. Bandung: Pustaka Setia

Hanafi, Ahmad. 1968. Teologi Islam. Jakarta: Bulan Bintang

Madkour, Ibrahim. 1995. Aliran dan Teori Filsafat Islam. Jakarta: Bumi Aksara

 

No comments:

Post a Comment

terimakasih telah berkunjung ke blog saya, jangan lupa tinggalkan komentar ya sahabat :)