PEMBAHASAN
A.
Pengertian Mu’tazilah
Kata mu’tazilah secara bahasa berasal dari bahasa Arab اعتزل yang berarti memisahkan diri.
Sedangkan معتزلة adalah orang-orang yang
memisahkan diri.[1]
Nama nama mu’tazilah bukan ciptaan
orang-orang Mu’tazilah sendiri, tetapi diberikan oleh orang lain.[2]
Sedangkan orang-orang mu’tazilah sendiri menamakan dirinya اَهْلُ العَدْلِ وَ التَوْحِدِ yaitu ahli keadilan dan keesaan.[3]
Mu’tazilah secara istilah diartikan dengan berbagai
macam definisi, antara lain:
a.
Mu’tazilah : Orang-orang menyalahi pendapat sebagian
besar umat, dan mengatakan bahwa orang fasik, yaitu orang yang melakukan dosa
besar, tidak mukmin tidak pula kafir.
b.
Mu’tazilah : Golongan yang memisahkan diri dari Hasan
Basri yaitu para pengikut Washil bin Atho’.
c.
Mu’tazilah : Orang-orang yang memisahkan diri dari dari
ketergantungan terhadap keduniaan, yaitu melalui ketaqwaan, zuhud,
kesederhanaan, serta merasa puas dengan yang ada.[4]
d.
Mu’tazilah : Orang-orang yang tidak mau melibatkan diri
dalam perang jamal maupun perang Siffin, karena mereka belum dapat mengetahui
dengan jelas mana yang benar dan mana yang salah.
B.
Sejarah Munculnya dan Perkembangan Mu’tazilah
Mu’tazilah merupakan salah satu firqah Islamiah yang
memiliki ciri metode tersendiri dalam berakidah. Dalam memahami masalah-masalah
aqidah, mereka sangat cenderung untuk menggunakan akal pikiran. Metode berpikir
mereka sangat dipengaruhi filsafat Yunani. Mu’tazilah selalu berusaha
mengkompromikan antara pemikiran-pemikiran Islam dengan pemikiran-pemikiran
Yunani. Mereka sangat giat memperlajari filsafat Yunani untuk mempertahankan
pendapat-pendapat mereka dan ajaran-ajaran Islam.
Munculnya aliran Mu’tazilah menunjuk pada dua golongan.
Golongan pertama (selanjutnya disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon
politik murni. Golongan politik ini tumbuh sebagai kaum netral politik,
khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin
Abi Thalib dan lawan-lawannya. Golongan inilah yang mula-mula disebut
Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khalifah.
Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada
pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh di kemudian hari.[5]
Golongan kedua (selanjutnya disebut Mu’tazilah II)
muncul sebagai respon dari persoalan teologis yang berkembang di kalangan
Khawarij dan Murji’ah akibat adanya tahkim. Golongan ini muncul karena
mereka berbeda pendapat dengan golongan khawarij dan murji’ah tentang pemberian
status kafir kepada orang yang berbuat dosa besar.
Pendapat lain mengatakan bahwa sejarah awal
perkembangan Mu’tazilah tak dapat dilepaskan dari nama Washil bin Atho. Dialah
pemimpin pertama Mu’tazilah. Washil adalah murid Hasan Basri. Suatu ketika,
salah seorang murid Hasan Basri menanyakan tentang pandangan agama terhadap
seseorang yang melakukan dosa besar. Hasan Basri memberi jawaban bahwa pelaku
dosa besar tersebut dikategorikan sebagai munafik. Iapun menyanggah dan
mengemukakan pendapatnya, bahwa orang yang melakukan dosa besar berarti bukan
lagi seorang muslim secara mutlak dan bukan pula kafir secara mutlak. Karena
ketidakpuasan atas jawaban Hasan Basri tersebut, Atho’ kemudian memisahkan diri
dari gurunya tersebut bersama orang-orang yang menyetujui pendapatnya tersebut.
Kemudian muncullah aliran Mu’tazilah.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa awal pemunculannya
Mu’tazilah jauh dari arena politik. Namun ketidakterlibatan mereka dengan dunia
politik tidak berlangsung lama. Setelah mereka menjadi kuat pengaruh mereka
mulai menyusup ke pusat kekuasaan Daulah Bani Umayyah. Mereka mendekati
khalifah Walid bin Yazid, hingga akhirnya Walid pun memeluk aliran Mu’tazilah.
Tidak hanya Walid saja yang terpengaruh aliran Mu’tazilah, Marwan bin Muhammad,
khalifah terakhir Daulah Bani Umayyah, serta beberapa pemegang kekuatan politik
lainnya, juga menjadi pengikut Mu’tazilah. Dengan keterlibatan para khalifah
ini, maka aliran Mu’tazilah telah sepenuhnya menceburkan diri di kancah politik
dan kekuatan yang mereka miliki sedikit banyak adalah karena dukungan para
khalifah.[6]
Runtuhnya Daulah Bani Umayyah dan bangkitnya Daulah
Abbasiyah ternyata tidak membuat surut langkah politik Mu’tazilah. Bahkan sebaliknya
mereka justru melangkah lebih jauh dalam arena politik. Dimulai di Basrah
kemudian berdiri cabang sampai ke Baghdad. Orang Mu’tazilah Basrah bersikap
hati-hati dalam menghadapi masalah politik, kelompok Mu’tazilah di Bagdad
justru terlibat jauh. Ketika Basyir Al Murasyi, seorang tokoh Mu’tazilah,
menyatakan pendapatnya yang controversial tentang Al-Qur’an yaitu AL-Qur’an
adalah makhluk, Harun Al-Rasyid pun mengancam akan membunuhnya.
Namun konflik tersebut tidak berlangsung lama. Bahkan
akhirnya Mu’tazilah dapat mempengaruhi khalifah Bani Abasiyyah untuk masuk
dalam aliran tersebut seperti khalifah Al Makmun dan khalifah Al Mu’tashim.
Kalifah Al-Makmun sangat tertarik pada filsafat Yunani. atas dorongan seorang
hakim Mu’tazilah yaitu ibn Abi Duwad, pada tahun 872 M Al Makmun
memproklamasikan pandangan tentang kemakhlukan Al Qur’an. Untuk mempertahankan
dan menyebarkan pandangannya tersebut, pada tahun 833 Al Makmun melembagakan mihnah
yaitu semacam lembaga pengadilan bagi orang-orang yang menolak pahamnya. salah
satu korbannya adalah Ahmad Ibn Hambal, seorang tokoh yang berpegang teguh pada
pandangan ortodoks.
Golongan-golongan yang menentang Mu’tazilah tersebut
ternyata mempengaruhi Mu’tazilah sendiri. Hal ini karena pendapat dan pikiran
selalu bekerja baik terhadap kawan maupun lawan. Seperti teori John of Damaskus
yang mengatakan bahwa Tuhan adalah Zat yang baik, menjadi sumber kebaikan dan
tidak dapat mengerjakan keburukan. Manusia bebas berbuat dan memilih yang akan
dimintai pertanggungjawaban. Hal ini kemudian dijadikan ajaran dalam aliran
Mu’tazilah.
Setelah beberapa puluh tahun lamanya golongan
Mu’tazilah mencapai kepesatan dan kemegahan, akhirnya mengalami kemunduran.
Kemunduran ini terjadi akibat kesalahan mereka sendiri. Mereka membela dan
memperjuangkan kebebasan berpikir tetapi mereka sendiri memusuhi orang-orang
yang tidak mengikuti pendapat-pendapat mereka.
Sekalipun metode rasional sangat dominan di kalangan Mu’tazilah,
namun sebagai teolog Islam para tokohnya tidak melupakan teks-teks wahyu
(Al-Qur’an dan hadist) dalam memformulasikan pendapatnya. Keduanya diyakini
sebagai sumber pokok kepercayaan yang mereka yakini kebenarannya. Hanya saja
sesuai dengan prinsip rasionalitasnya ayat-ayat al-Qur’an yang sesuai dan
diterima akal dijadikan sebagai pendukung pandangannya sedangkan yang tidak
demikian mereka ta’wilkan secara rasional atau dilewatkan begitu saja.[7]
C.
Pokok-pokok Ajaran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah mempunyai lima pokok ajaran yang disebut dengan ushulul
khamsah. Kelima ajaran dasar Mu’tazilah yang tertuang dalam al-ushul al
khamsah adalah at-tauhid (pengesaan Tuhan), al-adl (keadilan
Tuhan), al waad wa al-wa’id (janji dan ancaman Tuhan), al-manzilah
bain al manzilatain (posisi di antara dua posisi), dan al-amr bi al-ma’ruf
wa al-nahy an al-munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran).[8]
1.
At-tauhid
At-tauhid
(pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dan intisari ajaran Mu’tazilah.
Sebenarnya tauhid ini bukan milik khusus golongan Mu’tazilah. Tauhid adalah
dasar Islam pertama dan utama. Tetapi karena mereka menafsirkannya sedemikian
rupa dan mempertahankannya dengan sungguh-sungguh maka mereka terkenal sebagai
ahli tauhid.
Mereka
mengingkari sifat azali yang dimiliki Allah, seperti sifat Ilmu, qudrah, hidup,
mendengar, dan melihat bukan DzatNya.
2.
Adl ( Keadilan)
Allah Maha
Adil, dan keadilanNya mengharuskan manusia memiliki kekuasaan untuk berbuat sesuai
dengan kehendaknya sendiri.[9]
Ajaran keadilan ini berkait erat dengan beberapa hal,[10]
yaitu:
a.
Perbuatan manusia
Manusia
menurut Mu’tazilah, melakukan dan melaksanakan
perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan baik
secara langsung ataupun tidak. Manusia bebas memilih, bebas berkehendak, dan
bertanggung jawab atas pilihan atau kehendaknya itu.
b.
Berbuat baik dan terbaik
Dalam
istilah Arabnya, berbuat baik dan terbaik disebut ash shalah wa al-ashlah.
Maksudnya adalah kewajiban Tuhan untuk berbuat baik bahkan terbaik bagi
manusia. Tuhan tidak mungkin jahat dan aniaya karena akan menimbulkan kesan
Tuhan Penjahat dan Penganiaya, sesuatu yang tidak layak bagi Tuhan.
c.
Mengutus rasul
Mengutus
rasul kepada manusia adalah kewajiban Tuhan, karena:
1.
Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia dan hal itu tidak dapat
terwujud, kecuali dengan mengutus rasul kepada mereka.
2.
Al Qur’an secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk memberikan
belas kasih kepada manusia (QS Asy Syu’ara: 29). Cara yang terbaik untuk maksud
tersebut adalah dengan pengutusan rasul.
3.
Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya.
Agar tujuan tersebut berhasil, tidak ada jalan lain selain mengutus rasul.
3.
Wa’d wal Wa’id (Janji dan Ancaman)
Ajaran tersebut
dipegang oleh kaum Mu’tazilah adalah untuk membuktikan keadilan Tuhan sehingga
manusia dapat merasakan balasan Tuhan atas segala perbuatannya.[11]
Ajaran ketiga ini tidak memberi peluang bagi Tuhan, selain menunaikan
janji-janjiNya, yaitu memberi pahala orang yang taat dan menyiksa orang yang
berbuat maksiat, kecuali orang yang sudah bertobat nasuha. Ajaran ini tidak
percaya adanya syafaat sebab syafaat berlawanan dengan janji dan
ancaman.
4.
Al-Manzilah baina Manzilatain (Tempat diantara dua tempat)
Pokok ajaran
ini adalah bahwa mukmin yang melakukan dosa besar dan belum tobat bukan lagi mukmin
atau kafir tetapi fasik. Hal ini karena keimanan menuntut adanya kepatuhan
kepada Tuhan, tidak cukup hanya pengakuan dan pembenaran. Berdosa besar
bukanlah kepatuhan tetapi kedurhakaan. Pelakunya juga tidak dapat dikatakan
sebagai kafir secara mutlak karena mereka masih percaya kepada Tuhan, rasulNya,
dan mengerjakan perbuatan yang baik.
5.
Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Amar ma’ruf
nahi munkar adalah menyuruh kebaikan dan melarang kemunkaran. Ajaran ini
menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Perbedaan aliran
Mu’tazilah dengan aliran lain mengenai ajaran kelima ini terletak pada tatanan
pelaksanaannya. Menurut mereka orang yang menyalahi pendirian mereka dianggap
sesat dan harus dibenarkan serta diluruskan. Bahkan jika memang diperlukan,
kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut. mereka berpegang
pada hadist yang berbunyi[12]:
مَنْ
رَاءَ مِنْكُمْ مُنْكَرًافَلْيُغَيِرْهُ بِيَدِهِ
"Siapa
diantaranya yang melihat kemunkaran maka ubahlah dengan tanganmu”
Sejarahpun
telah mencatat kekerasan yang dilakukannya ketika menyiarkan ajaran-ajarannya. Diantaranya
adalah Syekh Buwaithi seorang ulama pengganti Imam Syafi’I dan Ahmad Ibn Hambal, seorang tokoh yang berpegang teguh pada
pandangan ortodoks dalam peristiwa Qur’an Makhluk.
D.
Dalil Naqli dari Aliran Mu’tazilah
Ketidak terlibatan aliran Mu’tazilah dalam perang Siffin adalah
karena mereka belum dapat mengetahui dengan jelas mana yang benar dan mana yang
salah diantara dua pihak yang bertikai itu. Dalam hal ini mereka bersandar pada
firman Allah Q.S Al Hujurat ayat 9.[13]
yaitu:
وَإِنْ
طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ
بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ
إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ
وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Artinya: “Dan jika ada dua golongan dari orang mukmin berperang,
maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu
berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang
berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah: jika golongan
itu telah kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku
adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (Q.S Al
Hujurat: 9)
Sedangkan untuk dasar Amar Ma’ruf Nahi Munkar mereka berpegang pada
QS Al Imran: 104 dan Lukman: 17.
KESIMPULAN
1.
Mu’tazilah secara bahasa berasal dari bahasa Arab I’tizal yang
artinya memisahkan diri. Sedangkan Mu’tazilah artinya orang-orang yang
memisahkan diri.
2.
Sejarah munculnya aliran Mu’tazilah ada dua versi. Pertama muncul sebagai respon politik murni. Golongan
politik ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap
lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan
lawan-lawannya. Kedua muncul sebagai respon dari persoalan teologis yang
berkembang di kalangan Khawarij dan Murji’ah akibat adanya tahkim.
3.
Aliran Mu’tazilah mempunyai lima pokok ajaran yang disebut dengan ushulul
khamsah yaitu at-tauhid (pengesaan Tuhan), al-adl (keadilan
Tuhan), al waad wa al-wa’id (janji dan ancaman Tuhan), al-manzilah
bain al manzilatain (posisi di antara dua posisi), dan al-amr bi
al-ma’ruf wa al-nahy an al-munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah
kemunkaran)
4.
Dalil naqli aliran Mu’tazilah adalah Q.S Al Hujurat : 9, QS Al Imran:
104 dan Lukman: 17.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rozak dan
Rosihon Anwar. 2001. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia
Ahmad,
Muhammad. 1998. Tauhid Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia
As Syak’ah,
Mustofa Muhammad. 1994. Islam tidak bermadzhab. Jakarta: Gema Indani
Pers
Ghazali, Adeng
Mukhtar. 2005. Perkembangan Ilmu Kalam dari Klasik hingga Modern.
Bandung: Pustaka Setia
Hanafi, Ahmad.
1968. Teologi Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Madkour,
Ibrahim. 1995. Aliran dan Teori Filsafat Islam. Jakarta: Bumi Aksara
No comments:
Post a Comment
terimakasih telah berkunjung ke blog saya, jangan lupa tinggalkan komentar ya sahabat :)