B.
PEMBAHASAN
1.
Hadist pada Masa Sahabat
Periode kedua sejarah perkembangan hadits adalah masa sahabat, khususnya adalah Khulafa
al-Rasyidun (Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin Khathab, Ustman bin Affan, dan
Ali bin Abi Thalib), sehingga masa ini dikenal dengan masa sahabat besar.[1]
Periode ini juga dikenal dengan zaman Al-Tasabbut wa al-Iqlal min al-Riwayah
yaitu periode membatasi hadits dan menyedikitkan riwayat. Hal ini
disebabkan karena para sahabat pada masa ini lebih mencurahkan perhatiannya
kepada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an. Akibatnya periwayatan haditspun
kurang mendapat perhatian, bahkan mereka berusaha untuk bersikap hati - hati
dan membatasi dalam meriwayatkan hadits.
Kehati - hatian dan usaha membatasi periwayatan dan penulisan hadits yang dilakukan para sahabat, disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan dan kebohongan atas nama Rasul SAW, karena hadits adalah sumber ajaran setelah Al-Qur’an.[2] Keberadaan hadits yang demikian harus dijaga keautentikannya sebagaimana penjagaan terhadap Al-Qur’an. Oleh karena itu, para sahabat khususnya Khulafa al-Rasyidin, dan sahabat lainnya seperti Al - zubair, Ibn Abbas, dan Abu Ubaidah berusaha keras untuk memperketat periwayatan hadits. Berikut ini akan diuraikan periwayatan hadis pada masa sahabat.
Kehati - hatian dan usaha membatasi periwayatan dan penulisan hadits yang dilakukan para sahabat, disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan dan kebohongan atas nama Rasul SAW, karena hadits adalah sumber ajaran setelah Al-Qur’an.[2] Keberadaan hadits yang demikian harus dijaga keautentikannya sebagaimana penjagaan terhadap Al-Qur’an. Oleh karena itu, para sahabat khususnya Khulafa al-Rasyidin, dan sahabat lainnya seperti Al - zubair, Ibn Abbas, dan Abu Ubaidah berusaha keras untuk memperketat periwayatan hadits. Berikut ini akan diuraikan periwayatan hadis pada masa sahabat.
a.
Abu Bakar al-Shiddiq
Pada masa
pemerintahan Abu Bakar, periwayatan hadits dilakukan dengan sangat hati - hati.
Bahkan menurut Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi (w. 748H/1347M), sahabat Nabi yang pertama - tama menunjukkan
sikap kehati - hatiannya dalam meriwayatkan hadits adalah Abu Bakar al-Shiddiq.
Sikap ketat dan kehati - hatian Abu Bakar tersebut juga ditunjukkan dengan tindakan konkrit beliau, yaitu dengan membakar catatan-catatan hadits yang dimilikinya. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Aisyah (putri Abu Bakar) bahwa Abu Bakar telah membakar catatan yang berisi sekitar lima ratus hadist. Tindakan Abu Bakar tersebut lebih dilatarbelakangi oleh karena beliau merasa khawatir berbuat salah dalam meriwayatkan hadits Sehingga, tidak mengherankan jika jumlah hadits yang diriwayatkannya juga tidak banyak. Padahal, jika dilihat dari intensitasnya bersama Nabi, beliau dikatakan sebagai sahabat yang paling lama bersama Nabi, mulai dari zaman sebelum Nabi hijrah ke Madinah hingga Nabi wafat.
Selain sebab - sebab di atas, menurut Suhudi Ismail, setidaknya ada tiga factor yang menyebabkan sahabat Abu Bakar tidak banyak meriwayatkan hadits, yaitu (1) dia selalu dalam keadaan sibuk ketika menjabat sebagai khalifah; (2) kebutuhan akan hadits tidak sebanyak pada sesudahnya; dan (3) jarak waktu antara kewafatannya dengan kewafatan Nabi sangat singkat.
Dengan demikian, dapat dimaklumi kalau sekiranya aktifitas periwayatan hadits pada masa Khalifah Abu Bakar masih sangat terbatas dan belum menonjol, karena pada masa ini umat Islam masih dihadapkan oleh adanya beberapa kenyataan yang sangat menyita waktu, berupa pemberontakan-pemberontakan yang dapat membahayakan kewibawaan pemerintah setelah meninggalnya Rasulullah SAW baik yang datang dari dalam (intern) maupun dari luar (ekstern). Meskipun demikian, kesemuanya tetap dapat diatasi oleh pasukan Abu Bakar dengan baik.
Sikap ketat dan kehati - hatian Abu Bakar tersebut juga ditunjukkan dengan tindakan konkrit beliau, yaitu dengan membakar catatan-catatan hadits yang dimilikinya. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Aisyah (putri Abu Bakar) bahwa Abu Bakar telah membakar catatan yang berisi sekitar lima ratus hadist. Tindakan Abu Bakar tersebut lebih dilatarbelakangi oleh karena beliau merasa khawatir berbuat salah dalam meriwayatkan hadits Sehingga, tidak mengherankan jika jumlah hadits yang diriwayatkannya juga tidak banyak. Padahal, jika dilihat dari intensitasnya bersama Nabi, beliau dikatakan sebagai sahabat yang paling lama bersama Nabi, mulai dari zaman sebelum Nabi hijrah ke Madinah hingga Nabi wafat.
Selain sebab - sebab di atas, menurut Suhudi Ismail, setidaknya ada tiga factor yang menyebabkan sahabat Abu Bakar tidak banyak meriwayatkan hadits, yaitu (1) dia selalu dalam keadaan sibuk ketika menjabat sebagai khalifah; (2) kebutuhan akan hadits tidak sebanyak pada sesudahnya; dan (3) jarak waktu antara kewafatannya dengan kewafatan Nabi sangat singkat.
Dengan demikian, dapat dimaklumi kalau sekiranya aktifitas periwayatan hadits pada masa Khalifah Abu Bakar masih sangat terbatas dan belum menonjol, karena pada masa ini umat Islam masih dihadapkan oleh adanya beberapa kenyataan yang sangat menyita waktu, berupa pemberontakan-pemberontakan yang dapat membahayakan kewibawaan pemerintah setelah meninggalnya Rasulullah SAW baik yang datang dari dalam (intern) maupun dari luar (ekstern). Meskipun demikian, kesemuanya tetap dapat diatasi oleh pasukan Abu Bakar dengan baik.
b.
Umar ibn al-Khathab
Tindakan hati -
hati yang dilakukan oleh Abu Bakar al-Shiddiq, juga diikuti oleh sahabat Umar
bin Khathab. Umar dalam hal ini juga terkenal sebagai orang yang sangat berhati-hati
di dalam meriwayatkan sebuah hadits. Beliau tidak mau menerima suatu riwayat
apabila tidak disaksikan oleh sahabat yang lainnya.
Hal ini memang dapat dipahami, karena memang pada masa itu, terutama masa khalifah Abu Bakar dan khalifah Umar bi al-Khathab naskah Al-Qur’an masih sangat terbatas jumlahnya, dan karena itu belum menyebar ke daerah - daerah kekuasaan Islam. Sehingga dikhawatirkan umat Islam yang baru memeluk Islam saat itu tidak bisa membedakan antara Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Pada periode ini menyusun catatan-catatan terdahulu juga dilarang, karena dari catatan tersebut tidak dapat diketahui mana yang haq dan mana yang bathil, demikian pula dengan pencatat ilmu juga dilarang. Meskipun demikian, pada masa Umar ini periwayatan hadits juga banyak dilakukan oleh umat Islam. Tentu dalam periwayatan tersebut tetap memegang prinsip kehati-hatian.
Hal ini memang dapat dipahami, karena memang pada masa itu, terutama masa khalifah Abu Bakar dan khalifah Umar bi al-Khathab naskah Al-Qur’an masih sangat terbatas jumlahnya, dan karena itu belum menyebar ke daerah - daerah kekuasaan Islam. Sehingga dikhawatirkan umat Islam yang baru memeluk Islam saat itu tidak bisa membedakan antara Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Pada periode ini menyusun catatan-catatan terdahulu juga dilarang, karena dari catatan tersebut tidak dapat diketahui mana yang haq dan mana yang bathil, demikian pula dengan pencatat ilmu juga dilarang. Meskipun demikian, pada masa Umar ini periwayatan hadits juga banyak dilakukan oleh umat Islam. Tentu dalam periwayatan tersebut tetap memegang prinsip kehati-hatian.
c.
Utsman Ibn Affan
Pada masa Usman
Ibn Affan, periwayatan hadits dilakukan dengan cara yang sama dengan dua
khalifah sebelumnya. Hanya saja, usaha yang dilakukan oleh Utsman Ibn Affan ini
tidaklah setegas yang dilakukan oleh Umar bin al-Khathab.
Meskipun Utsman melalui khutbahnya telah menyampaikan seruan agar umat Islam berhati-hati dalam meriwayatkan hadits. Namun pada zaman ini, kegiatan umat Islam dalam periwayatan hadist telah lebih banyak bila dibandingkan dengan kegiatan periwayatan pada zaman dua khalifah sebelumnya. Sebab, seruannya itu ternyata tidak begitu besar pengaruhnya terhadap para periwayat yang bersikap “longgar” dalam periwayatan hadist. Hal ini lebih disebabkan karena selain pribadi Utsman yang tidak sekeras pribadi Umar, juga karena wilayah Islam telah bertambah makin luas. Yang mengakibatkan bertambahnya kesulitan pengendalian kegiatan periwayatan hadis secara ketat.
Meskipun Utsman melalui khutbahnya telah menyampaikan seruan agar umat Islam berhati-hati dalam meriwayatkan hadits. Namun pada zaman ini, kegiatan umat Islam dalam periwayatan hadist telah lebih banyak bila dibandingkan dengan kegiatan periwayatan pada zaman dua khalifah sebelumnya. Sebab, seruannya itu ternyata tidak begitu besar pengaruhnya terhadap para periwayat yang bersikap “longgar” dalam periwayatan hadist. Hal ini lebih disebabkan karena selain pribadi Utsman yang tidak sekeras pribadi Umar, juga karena wilayah Islam telah bertambah makin luas. Yang mengakibatkan bertambahnya kesulitan pengendalian kegiatan periwayatan hadis secara ketat.
d.
Ali bin Abi Thalib
Khalifah Ali
bin Abi Thalib dalam meriwayatkan hadits tidak jauh berbeda dengan para
khalifah pendahulunya. Artinya, Ali dalam hal ini juga tetap berhati-hati
didalam meriwayatkan hadits. Dan diperoleh pula atsar yang menyatakan bahwa Ali
r.a tidak menerima hadits sebelum yang
meriwayatkannya itu disumpah.[3]
Hanya saja, kepada orang-orang yang benar-benar dipercayainya, Ali tidak meminta mereka untuk bersumpah.
Dengan demikian, fungsi sumpah dalam periwayatan hadits bagi Ali tidaklah sebagai syarat mutlak keabsahan periwayatan hadits. Sumpah dianggap tidak perlu, apabila orang yang menyampaikan riwayat hadits telah benar-benar diyakini tidak mungkin keliru.
Ali bin Abi Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi. Hadits yang diriwayatkannya, selain dalam bentuk lisan, juga dalam bentuk tulisan (catatan). Hadits yang berupa catatan, isinya berkisar tentang: [1] hukuman denda (diyat); [2] pembebasan orang Islam yang ditawan oleh orang kafir; dan [3] larangan melakukan hukum (qishash) terhadap orang Islam yang membunuh orang kafir. Dalam Musnad Ahmad, Ali bin Abi Thalib merupakan periwayat hadist yang terbanyak bila dibandingkan dengan ketiga khalifah pendahulunya.
Dengan demikian, fungsi sumpah dalam periwayatan hadits bagi Ali tidaklah sebagai syarat mutlak keabsahan periwayatan hadits. Sumpah dianggap tidak perlu, apabila orang yang menyampaikan riwayat hadits telah benar-benar diyakini tidak mungkin keliru.
Ali bin Abi Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi. Hadits yang diriwayatkannya, selain dalam bentuk lisan, juga dalam bentuk tulisan (catatan). Hadits yang berupa catatan, isinya berkisar tentang: [1] hukuman denda (diyat); [2] pembebasan orang Islam yang ditawan oleh orang kafir; dan [3] larangan melakukan hukum (qishash) terhadap orang Islam yang membunuh orang kafir. Dalam Musnad Ahmad, Ali bin Abi Thalib merupakan periwayat hadist yang terbanyak bila dibandingkan dengan ketiga khalifah pendahulunya.
2.
Hadist pada Masa Tabi’in
Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan kalangan tabi’in tidak
berbeda dengan yang dilakukan para sahabat. Mereka, bagaimanapun, mengukuti
jejak para sahabat sebagai guru – guru mereka. Hanya saja persoalan yang
dihadapi mereka agak berbeda yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini Al
Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Dipihak lain, usah yang taelah
dirintis oleh paara sahabat, pada masa khulafa’ Al-Rasyidin, khususnya masa
kekhalifahan Ustman para sahabat ahli hadiast menyebar keberapa wilayah
kekuasaan Islam. Kepeda merekalah para tabi’in mempelajari hadits.[4]
a.
Pusat – pusat Pembinaan Hadits
Tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan
hadits, sebagai tempat tujuan para tabi’in dalam mencari hadits. Kota - kota
tersebut ialah Madinah al-Munawarah, Makkah al-Mukarramah, Kuffah, Basrah,
Syam, Mesir, Magrib dan Andalas, Yaman dan Khurasan. Dari sejumlah para sahabat
pembina hadits pada kota - kota tersebut, ada beberapa orang yang tercatat
meriwayatkan hadist cukup banyak, antara lain: Abu Hurairah, Abdullah bin Umar,
Anas bin Malik, Aisyah, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdillah dan Abi Sa’id
al-Khudzri.[5]
Tokoh – tokoh dalam Perkembangan
Hadits Sahabat Kecil
Pada masa awal perkembangan hadits, sahabat yang banyak meriwayatkan hadits disebut dengan al-Mukhtsirun fi al-Hadits mereka adalah:
1) Abu Hurairah meriwayatkan 5374 atau 5364 hadits
2) Abdullah ibn Umar meriwayatkan 2630 hadits
3) Anas ibn Malik meriwayatkan 2276 atau 2236 hadits
4) Aisyah(istri nabi) meriwayatkan 2210 hadits
5) Abdullah ibn Abbas meriwayatkan 1660 hadits
6) Jabir ibn Abdillah meriwayatkan 1540 hadits
7) Abu Sa’id al-Khudzri meriwayatkan 1170 hadits.
Sedangkan dari kalangan tabi’in besar, tokoh – tokoh periwayatan hadisat sangat banyak sekali, mengingat banyaknya periwayatan pada masa tersebut, diantaranya:
1) Madinah
v Abu Bakar ibn Abdu Rahman ibn al-Haris ibn Hisyam
v Salim ibn Abdullah ibn Umar
v Sulaiman ibn Yassar
Pada masa awal perkembangan hadits, sahabat yang banyak meriwayatkan hadits disebut dengan al-Mukhtsirun fi al-Hadits mereka adalah:
1) Abu Hurairah meriwayatkan 5374 atau 5364 hadits
2) Abdullah ibn Umar meriwayatkan 2630 hadits
3) Anas ibn Malik meriwayatkan 2276 atau 2236 hadits
4) Aisyah(istri nabi) meriwayatkan 2210 hadits
5) Abdullah ibn Abbas meriwayatkan 1660 hadits
6) Jabir ibn Abdillah meriwayatkan 1540 hadits
7) Abu Sa’id al-Khudzri meriwayatkan 1170 hadits.
Sedangkan dari kalangan tabi’in besar, tokoh – tokoh periwayatan hadisat sangat banyak sekali, mengingat banyaknya periwayatan pada masa tersebut, diantaranya:
1) Madinah
v Abu Bakar ibn Abdu Rahman ibn al-Haris ibn Hisyam
v Salim ibn Abdullah ibn Umar
v Sulaiman ibn Yassar
2)
Makkah
v Ikrimah
v Muhammad ibn Muslim
v Abu Zubair
v Ikrimah
v Muhammad ibn Muslim
v Abu Zubair
3)
Kufah
v Ibrahim an-Nakha’i
v Alqamah
v Ibrahim an-Nakha’i
v Alqamah
4)
Basrah
v Muhammad ibn Sirin
v Qatadah
v Muhammad ibn Sirin
v Qatadah
5)
Syam
v Umar ibn Abdul Aziz
v Umar ibn Abdul Aziz
6)
Mesir
v YAzid ibn Habib
v YAzid ibn Habib
7)
Yaman
v Thaus ibn Kaisan al-Yamani
v Thaus ibn Kaisan al-Yamani
b.
Pergolakan Politik dan Pemalsuan Hadits
Pergolakan ini sebenarnya terjadi pada masa sahabat, setelah
terjadinya perang Jamal dan perang Sifin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh
Ali bin Abi Thalib akan tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut- larut
dengan terpecahnya umat islam kedalam beberapa kelompok ( Khawarij, Syi’ah,
Mu’awiyah dan golongan mayoritas yang tidak masuk kedalam ketiga kelompok
tersebut).
Langsung atau tidak, dari pergolakan politik seperti diatas, cukup memberikan pengaruh terhadap perkembangan hadits berikutnya. Pengaruh yang langsung yang bersifat negatif, ialah dengan munculnya hadits – hadits palsu (maudhu’) untuk mendukung kepentingan politiknya masing – masing kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawan – lawannya. Adapun pengaruh yang bersifat positif adalah lahirnya rencana dan usaha yang mendorong diadakannya kodofikasi atau tadwin hadist, sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan, sebagai akibat dari pergolakan politik tersebut.
Langsung atau tidak, dari pergolakan politik seperti diatas, cukup memberikan pengaruh terhadap perkembangan hadits berikutnya. Pengaruh yang langsung yang bersifat negatif, ialah dengan munculnya hadits – hadits palsu (maudhu’) untuk mendukung kepentingan politiknya masing – masing kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawan – lawannya. Adapun pengaruh yang bersifat positif adalah lahirnya rencana dan usaha yang mendorong diadakannya kodofikasi atau tadwin hadist, sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan, sebagai akibat dari pergolakan politik tersebut.
KESIMPULAN
Periode kedua sejarah perkembangan
hadist adalah masa sahabat, khususnya adalah Khulafa’ al Rasyidin (Abu Bakar
al-Shiddiq, Umar bin Khathab, Ustman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib).
Sehingga masa ini dikenal dangan zaman Al-Tasabbut wa al-Iqlal min
al-Riwayah. Adapun hadits pada masa tabi’in terdapat pusat – pusat pembinaan
hadits antara lain: Madinah al-Munawarah, Makkah al-Mukarramah, Kuffah, Basrah,
Syam, Mesir, Magrib dan Andalas, Yaman dan Khurasan. Sedangkan tokoh –
tokohnya: Abu Hurairah, Abdullah ibn Umar, Anas ibn Malik, Aisyah(istri nabi),
Abdullah ibn Abbas, Jabir ibn Abdillah, Abu Sa’id al-Khudzri. Sedangkan dari
kalangan tabi’in besar, tokoh – tokohnya: Madinah yaitu Abu Bakar ibn Abdu
Rahman ibn al-Haris ibn Hisyam, Salim ibn Abdullah ibn Umar, Sulaiman ibn Yassar.
Makkah yaitu Ikrimah, Muhammad ibn Muslim, Abu Zubair. Kufah yaitu Ibrahim
an-Nakha’I, Alqamah. Basrah yaitu Muhammad ibn Sirin, Qatadah. Syam yaitu Umar
ibn Abdul Aziz. Mesir yaitu Yazid ibn Habib. Yaman yaitu Thaus ibn Kaisan
al-Yamani.
Keadaan hadits pada masa tabi’in ini sempat memunculkan beberapa pengaruh yaitu terpecahnya umat islam kedalam beberapa kelompok ( Khawarij, Syi’ah, Mu’awiyah dan golongan mayoritas yang tidak masuk kedalam ketiga kelompok tersebut). Pengaruh negatif, ialah munculnya hadits palsu (maudhu’) yang mendukung kepentingan politik masing – masing kelompok dan menjatuhkan posisi lawan. Dan pengaruh positif adalah lahirnya rencana dan usaha yang mendorong diadakannya kodofikasi atau tadwin hadits.
Keadaan hadits pada masa tabi’in ini sempat memunculkan beberapa pengaruh yaitu terpecahnya umat islam kedalam beberapa kelompok ( Khawarij, Syi’ah, Mu’awiyah dan golongan mayoritas yang tidak masuk kedalam ketiga kelompok tersebut). Pengaruh negatif, ialah munculnya hadits palsu (maudhu’) yang mendukung kepentingan politik masing – masing kelompok dan menjatuhkan posisi lawan. Dan pengaruh positif adalah lahirnya rencana dan usaha yang mendorong diadakannya kodofikasi atau tadwin hadits.
DAFTAR PUSTAKA
Ichwan, Mohammad Nor. 2007. Studi
Ilmu Hadist. Semarang: RaSAIL Media.
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku. 1999. Ilmu Hadist. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Rofi’ah, Khusniati. 2010. Studi Ilmu Hadist. Ponorogo: STAIN PO Press.
Suparta, Munzier. 2008. Ilmu Hadist. Jakarta: Raja Graafindo Persada.
Zuhri, Muh. 2003. Hadist Nabi Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku. 1999. Ilmu Hadist. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Rofi’ah, Khusniati. 2010. Studi Ilmu Hadist. Ponorogo: STAIN PO Press.
Suparta, Munzier. 2008. Ilmu Hadist. Jakarta: Raja Graafindo Persada.
Zuhri, Muh. 2003. Hadist Nabi Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
No comments:
Post a Comment
terimakasih telah berkunjung ke blog saya, jangan lupa tinggalkan komentar ya sahabat :)