PEMIKIRAN SOCRATES (469-399 SM)
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan tidak
lepas dari peran sentral tokoh-tokohnya. Karena berkat kegigihan mereka dalam
mencari dan berpikir itulah ilmu pengetahuan dapat direalisasikan. Pada masa
Yunani Klasik, ada tiga tokoh besar yang memiliki peran tersebut. Dimana mereka
banyak memberikan kontribusi pemikiran atau khazanah pengetahuan baik itu dalam
bentuk metode, konsep maupun karya tulis.
Salah satunya adalah Socrates,
seorang filosof yang agung dengan filsafatnya sehingga melahirkan para filosof
sesudahnya. Salah satu filsafatnya adalah dialektika. Dengan ini Socrates dapat
menyangkal pendapat kaum sofis yang tatkal itu berkuasa di daratan Athena
dengan pemikirannya bahwa kebenaran itu relatif.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah riwayat hidup Socrates?
2. Apa saja buah karya pemikiran Socrates?
C. Tujuan
1. Mengetahui riwayat hidup (biografi)
Socrates.
2. Mengetahui pemikiran-pemikiran Socrates.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Socrates
Socrates
lahir di Athena sekitar tahun 470 SM dan meninggal pada tahun 399 SM. Ayahnya
adalah seorang seniman patung yang bernama Sophroniscos dan ibunya adalah bidan
yang bernama Phainarete. Karena Socrates masuk tentara Athena sebagai hoplites,
dapat disimpulkan bahwa mula-mula ia tidak hidup berkekurangan, karena di
Athena hanya pemilik tanah yang diizinkan dalam pasukan itu. Tetapi lama
kelamaan ia menjadi miskin karena ia hanya mengutamakan keaktifan sebagai
filsuf. Pada usia lanjut ia menikah dengan perempuan bernama Xantippe dan
dikaruniai tiga orang anak. Ada kesaksian pula bahwa Socrates adalah murid
Arkhelaos, filsuf yang mengganti Anaxaagoras di Athena. Pada awalnya Socrates
mau menuruti jejak ayahnya yaitu menjadi pembuat patung. Namun akhirnya ia
berganti haluan yakni dari membentuk patung menjadi membentuk watak manusia.[1]
Secara fisik, memang Socrates tidak
mencerminkan kebanyakan orang Yunani yang terkenal gagah, ganteng dan menawan.
Socrates justru sebaliknya, pendek sedikit gemuk, mulutnya lebar, hidungnya
pesek, dan matanya agak menjorok ke luar. Akan tetapi kekurangan itu tertutupi
dengan kelebihan kepribadiannya serta budi luhurnya. Socrates begitu pandai
menguasai dirinya, ia selalu bersikap adil dan tidak pernah berlaku zalim.
Socrates mendapatkan pendidikan
dengan baik, dan pada awalnya ia seorang prajurit Athena yang gagah berani, ia
tidak mencampuri urusan politik dan lebih perhatian kepada urusan filsafat.
Saat berusia 30-an, ia bekerja sebagai seorang guru moral sosial yang tidak
mengambil imbalan juga tidak mendirikan gedung sekolah.[2]
Socrates
bergaul dengan segala orang, tua dan muda, kaya dan miskin.[3] Selain itu dia juga merupakan guru
yang amat sangat dicintai dan disegani oleh para muridnya, karena sikap dan
perilakunya yang baik. Socrates selalu mendahulukan kepentingan umum dan tidak
pernah mengutamakan ego dan kepentingannya. Socrates juga memiliki sifat yang
cerdik, ia tidak pernah khilaf dalam menimbang baik dan buruk. Yang terunik
dari Socrates, bagi para muridnya adalah selalu bertanya, sebab ia banyak ingin
tahu. Ia berbicara dengan banyak orang dari berbagai macam kalangan; pelukis,
tukang, prajurit, bangsawan, ahli perang, politisi dan sebagainya. Ia
bertanya kepada orang yang ditemuinya tentang apa yang sedang dikerjakannya.
Misalnya kepada seorang pelukis ia bertanya tentang apa yang dikatakan indah.
Dengan jalan bertanya itu ia memaksa orang tersebut supaya memperhatikan apa
yang diketahuinya dan sampai batas mana pengetahuannya itu.
Socrates merupakan musuh utama dari
kaum sofis yang selalu mengandalkan retorika dalam berpolitik dan membagikan
ilmunya. Para guru sofis mengajarkan bahwa “kebenaran yang sebenar-benarnya
tidak tercapai”. Namun Socrates menolak pandangan ini, karena menurutnya
apabila banyak orang setuju dan hal itu sudah dianggap benar, dengan cara
begitu ilmu pengetahuan menjadi dangkal. Akhirnya Socrates mampu membungkam
kaum sofis dengan metode dialektik kritis.
Karena sikap kritisnya tersebut,
Socrates diadili di pengadilan rakyat dengan dua macam tuduhan. Pertama, ia
dianggap meniadakan dewa-dewa yang diakui oleh negara (Yunani). Kedua, ia
dianggap menyesatkan dan merusak jiwa pemuda Yunani. Dalam
pengadilan tersebut, Socrates menyampaikan sebuah pidato pembelaan, Plato
mencatatnya saat sidang berlangsung dan mengabadikannya sebagai sebuah tulisan
berjudul “Apologia”. Pidato tersebut berisi bukti-bukti dan alasan bahwa apa
yang dituduhkan padanya sama sekali tidak benar.[4]
Namun berdasarkan suara terbanyak, yaitu
280 menyatakan bersalah melawan 220 menyatakan ridak bersalah, maka pendakwa
menuntut hukuman mati pada Socrates. Menurut kebiasaan hukum Athena, terdakwa
diizinkan mengusulkan hukuman lain. Kalau seandainya Socrates mengusulkan
supaya dibuang ke luar kota, usul itu tentu akan diterima. Tetapi Socrates
tidak mau meninggalkan kota asalnya. Sebenarnya Socrates bermaksud mengusulkan
satu mina (mata uang Athena) sebagai denda, tetapi atas dorongan sahabatnya ia
mempertinggikan jumlahnya menjadi 30 mina, lebih-lebih karena mereka menawarkan
akan menaggung pembayarannya. Tetapi sidang memutuskan hukuman mati, karena
denda 30 mina dirasa terlalu kecil dan terutama karena Socrates dalam pembelaannya
dirasa menghina hakim.[5]
Biasanya hukuman mati dijalankan
dalam waktu 24 jam. Tetapi pada waktu itu suatu perahu layar Athena yang
keramat sedang melakukan perjalanan tahunan ke kuil di pulau Delos dan menurut
hukum Athena hukuman mati baru boleh dijalankan bila perahu itu sudah kembali. Dari
sebab itu satu bulan lamanya Socrates tinggal lagi dalam penjara sambil
bercakap-cakap dengan sahabat-sahabatnya. Salah seorang diantara mereka,
bernama Kriton mengusulkan supaya Socrates melarikan diri. Tetapi Socrates
menolak.[6]
Bahkan seorang temannya, muridnya
maupun tentara Yunani saat itu, meminta Socrates untuk menarik kata-kata dan
pemikirannya. Namun ternyata Socrates justru memilih mati daripada mengkhianati
kebenaran yang sudah diyakininya karena bagi Socrates, mati dalam keyakinan lebih
bernilai daripada mengorbankan keyakinan itu sendiri. Sebelum dieksekusi,
Socrates sempat berkata kepada sahabatnya yang bernama Crito, “Crito, aku
berutang seekor ayam kepada Aesculaap, jangan lupa membayarkannya.” Crito
menjawab, “Utang itu akan dibayar”.[7]
Keberaniannya dalam menghadapi maut digambarkan
dengan indah dalam Phaedo karya Plato Sekalipun Socrates mati, ajarannya tersebar
justru dengan cepat karena kematiannya itu. Metode penyelidikannya, yang dikenal sebagai metode elencos, banyak
diterapkan untuk menguji konsep moral yang pokok. Karena itu, Socrates dikenal
sebagai bapak dan sumber etika atau filsafat moral, dan juga filsafat secara
umum.
B. Pemikiran
Socrates
Socrates tidak pernah menuliskan apa-apa. Jadi untuk
menentukan pemikiran-pemikirannya kita tidak dapat mempergunakan buah pena
Socrates sendiri, melainkan dari tulisan murid-muridnya terutama Plato. Plato
menulis sejumlah dialog atau diskusi-diskusi yang didramatisasi mengenai
filsafat, dimana dia menggunakan Socrates sebagai tokoh utama dan juru
bicaranya. Oleh karena itu tidak mudah membedakan antara ajaran-ajaran Socrates
dan filsafat Plato.
Bartens menjelaskan ajaran Socrates
sebagai berikut ini. Ajaran itu dutujukan untuk menentang ajaran relativisme
sofis. Ia ingin menegakkan sains dan agama. Kalau dipandang sepintas lalu,
Socrates tidaklah banyak berbeda dengan orang-orang sofis. Sama dengan orang
sofis, Socrates memulai filsafatnya dengan bertolak dari pengalaman sehari-hari.
Akan tetapi, ada perbedaan yang amat penting antara orang sofis dan Socrates.
Socrates tidak menyetujui kaum sofis.[8]
Menurut
pendapat Socrates ada kebenaran obyektif, yang tidak bergantung pada saya atau
pada kita. Ini memang pusat permasalahan yang dihadapi oleh Socrates. Untuk
membuktikan adanya kebenaran obyektif, Socrates menggunakan metode tertentu.
Metode itu bersifat praktis dan dijalankan melalui percakapan-percakapan. Ia
menganalisis pendapat-pendapat. Setiap orang mempunyai pendapat mengenai salah
dan tidak salah, misalnya ia bertanya kepada negarawan, hakim, tukang,
pedagang, dsb. Menurut Xenophon, ia bertanya tentang salah dan tidak salah,
adil dan tidak adil, berani dan pengecut dll. Socrates selalu menganggap
jawaban pertama sebagai hipotesis, dan dengan jawaban-jawaban lebih lanjut dan
menarik kensekuensi-konsekuensi yang dapat disimpulkan dari jawaban-jawaban
tersebut. Jika ternyata hipotesis pertama tidak dapat dipertahankan, karena
menghasilkan konsekuensi yang mustahil, maka hipotesis itu diganti dengan
hipotesis lain, lalu hipotesis kedua ini diselidiki dengan jawaban-jawaban
lain, dan begitulah seterusnya. Sering terjadi percakapan itu berakhir dengan
aporia ( kebingungan ).
Akan tetapi,
tidak jarang dialog itu menghasilkan suatu definisi yang dianggap berguna.
Metode yang biasa digunakan Socrates biasanya disebut dialektika yang berarti
bercakap-cakap atau berdialog. Metode Socrates dinamakan diaelektika karena
dialog mempunyai peranan penting didalamnya. Bagi Socrates pada waktu itu
penemuan definisi bukanlah hal yang kecil maknanya, penemuan inilah yang akan
dihantamkannya kepada relatifisme kaum sofis.[9]
Dalam suatu kutipan yang terkenal
dari dialog Theaitetos, Socrates sendiri mengusulkan nama lain untuk
menunjukkan metodenya yaitu maieutike tekhne (seni kebidanan). Dia tidak
melahirkan sendiri anak itu, namun dia ada untuk membantu selama kelahiran.
Begitu juga Socrates menganggap tugasnya seperti membantu orang-orang
“melahirkan” wawasan yang benar, sebab pemahaman yang sejati harus timbul dari
dalam diri sendiri dan tidak dapat ditanamkan oleh orang lain.[10]
Bagi kita yang sudah biasa membentuk dan menggunakan definisi
barang kali merasakan definisi itu bukan sesuatu yang amat penting, jadi bukan
suatu penenmuan yang berharga. Akan tetapi, bagi Socrates pada waktu itu penemuan
definisi bukanlah hal yang kecil maknanya, penemuan inilah yang akan
dihantamkannya kepada relatifisme kaum sofis.
Orang sofis beranggapan
bahwa semua pengetahuan adalah relatif kebenarannya, tidak ada pengetahuan yang
bersifat umum. Dengan definisi itu Socrates dapat membuktikan kepada orang
sofis bahwa pengatahuan yang umum ada, yaitu definisi itu. Jadi, orang sofis
tidak seluruhnya benar, yang benar ialah sebagian pengetahuan bersifat umum dan
sebagian bersifat khusus, yang khusus itulah pengetahuan yang kebenaranya
relatif. Misalnya contoh ini:
Apakah kursi itu ? kita
periksa seluruh, kalau bisa seluruh kursi yang ada didunia ini. Kita menemukan
kursi hakim ada tempat duduk dan sandaran, kakinya empat, dari bahan jati.
Lihat kursi malas, ada tempat duduk dan sandaran, kakinya dua, dari besi anti
karat begitulah seterusnya. Jadi kita ambil kesimpulan bahwa setiap kursi itu
selalu ada tempat duduk dan sandaran. Kedua ciri ini terdapat pada semua kursi.
Sedangkan cirri yang lain tidak dimilki semua kursi. Maka, semua orang akan
sepakat bahwa kursi adalah tempat duduk yang bersandaran. Berarti ini merupakan
kebenaran obyektif – umum, tidak subyektif – relative. Tentang jumlah kaki,
bahan, dsb. Merupakan kebenaran yang relatif. Jadi, memang ada pengetahuan yang
umum, itulah definisi.
Dengan mengajukan
definisi itu Socrates telah dapat “ menghentikan ” laju dominasi relatifisme
kaum sofis. Jadi, kita bukan hidup tanpa pegangan, kebenaran sains dan agama
dapat dipegang bersama sebagainya, diperselisihkan sebagainya. Dan orang Athena
mulai kembali memegang kaidah sains dan kaidah agama mereka.[11]
Socrates mengatakan
kebenaran umum itu memang ada. Ia bukan dicari dengan induksi seperti pada
Socrates, melainkan telah ada “ disana ” dialam idea. Kubu Socrates semakin
kuat, orang sofis sudah semakin kehabisan pengikut. Ajaran behwa kebenaran itu
relatif semakin ditinggalkan, semakin tidak laku. Akhirnya orang mulai
mempercayai adanya kebenaran umum.
Dengan metode dialektika ini,
menurut Aristoteles selaku murid Plato bahwa Socrates telah melahirkan dua poin
penting dalam menggapai sebuah ilmu pengetahuan. Dua poin tersebut adalah
induksi dan definisi. Induksi adalah suatu cara berpikir yang bertolak dari
hal-hal yang khusus dan menarik kesimpulan untuk hal yang umum. Cara ini telah
Socrates terapkan yaitu dengan memberikan atau mengajukan pertanyaan tentang
keutamaan kepada semua orang dalam berbagai profesi, kemudian jawaban dari
setiap orang tadi disimpulkan sehingga menjadi sebuah pengetahuan. Kemudian,
poin yang kedua adalah: Definisi, dimana di dalamnya telah mencakup intisari
serta hakikat dari sesuatu sehingga dapat mewakili seluruh populasi yang
didefinisikan itu tanpa ada ikatan ruang dan waktu. Dengan kata lain, definisi
dihasilkan atas dasar induksi yang berusaha menentukan inti atau hakikat
sesuatu hal. Misalnya: Definisi tentang lingkaran, dalam definisi ini akan
dijelaskan apa sebenarnya hakikat dari lingkaran tersebut dan definisi ini
berlaku untuk semua lingkaran.[12]
Socrates memberikan teori tentang
definisi ini dengan beberapa poin yaitu:
1. Suatu
definisi ideal harus memberikan pada kita hakikat dari yang ditunjuk oleh suatu
kata.
2. Hakikat
ini akan ditinjau secara tunggal dan sederhana.
3. Definisi
akan menjawab pertanyaan "Apakah unsur pokok yang menjadikan sesuatu hal
ada"?
4. Dalam
menjawab pertanyaan ini kita akan mengetahui: (a) yang sungguh-sungguh
menjadikan semua hal yang benar adalah benar, dan (b) berdasar atas itu kita
mengenal dan mampu menanamkan suatu hal yang benar adalah benar.
5. Dengan
pengetahuan ini sebagai patokan, kita dapat secara rasional, metodis benar.[13]
Dalam apologia Socrates
menerangkan kepada hakim-hakimnya bahwa ia menganggap sebagai tugasnya
mengingatkan para warga negara Athena supaya mereka mengutamakan jiwa mereka
dan bukan kesehatan, kekayaan, kehormatan atau hal-hal lain yang tidak
sebanding dengan jiwa. Menurut Socrates, tujuan tertinggi kehidupan manusia
ialah membuat jiwanya menjadi sebaik mungkin. Tingkah laku manusia hanya dapat
disebut “baik” jika dengan itu ia berusaha supaya manusia menurut inti sarinya,
dan bukan menurut salah satu aspek lahiriyah saja dijadikan sebaik mungkin.
Dengan cara lain lagi boleh dikatakan bahwa tujuan kehidupan manusia adalah
kebahagiaan (eudaimonia).[14]
Manusia dapat mencapai kebahagiaan
dengan arête atau virtue yakni keutamaan (moral). Salah satu
pendirian Socrates yang terkenal adalah “keutamaan adalah pengetahuan”.
Pemahaman yang lebih mudah misalnya adalah seorang tukang sepatu harus
mengetahui apakah itu sebuah sepatu dan untuk apa sepatu dipakai. Tidak mungkin
dia menjadi seorang tukang yang baik jika ia tidak mempunyai pengetahuan serupa
itu. Demikian juga keutamaan yang membuat manusia menjadi manusia yang baik,
harus dianggap sebagai pengetahuan.
Jadi menurut Socrates, orang yang
berpengetahuan akan dengan sendirinya berbudi baik. Apabila budi adalah tahu,
berdasarkan timbangan yang benar, maka jahatnya dari orang yang tidak
mengetahui karena tidak mempunyai pertimbangan atau penglihatan yang benar.
Namun jika kita melihat pada era sekarang, ternyata tidak hanya yang tidak tahu
saja yang jahat, yang tahu pun bisa lebih jahat dari yang tidak tahu karena
mereka bisa memanipulasi dan mencari-cari celah dari apa yang telah ia ketahui.
Justru kejahatan dari orang-orang yang berpengetahuan inilah yang lebih berbahaya.[15]
Kosepnya tentang roh, terkenal tidak
tentu ( indeterminate ) dan berpandangan terbuka ( openminded ), jelas – jelas
tidak agamis dan terlihat tidak mengandalkan doktrin – doktrin metafisik atau
teologis. Juga tidak melibatkan komitmen – komitmen naturalistik atau fisik
apapun, seperti pandangan tradisional bahwa roh adalah “ nafas ” yang
menghidupkan. Sebenarnya juga tidak jelas bahwa ia sedang mencari kesepakatan
bagi pendapatnya bahwa roh tidak dapat mati, dan didalam Apologi, ia hanya
mengatakan betapa indahnya jika demikian adanya. Hidup ( dan mati ) demi roh
seseorang murni berkaitan dengan karakter dan integritas prinadi, bukan dengan
harapan – harapan akan ganjarannya dimasa depan. Perhatian Socrates murni etis,
tanpa suatu gambaran akan intrik kosmologi yang telah mempesona para
pendahulunya.[16]
Socrates diakhir – akhir hidupnya
banyak memperkatakan tentang akhirat dan hidup yang abadi kelak dibelakang
hari. Dia mempercayai adanya akhirat, dan hidup yang abadi dibelakang hari itu,
begitu juga tentang kekalnya roh. Socrates berpendapat bahwa roh itu telah ada
sebelum manusia, dalam keadaan yang tidak kita ketahui. Kendatipun roh itu
telah bertali dengan tubuh manusia, tetapi diwaktu manusia itu mati, roh itu
kembali kepada asalnya semula. Diwaktu orang berkata kepada Socrates, bahwa
raja bermaksud akan membunuhnya. Dia menjawab : “ Socrates adalah didalam
kendi, raja hanya bisa memecahkan kendi. Kendi pecah, tetapi air akan kembali
ke dalam laut ”. Maksudnya, yang hancur luluh hanyalah tubuh, sedang jiwa
adalah kekal ( abadi ).[17]
Ia menentang konsep bangsa Yunani
tentang jiwa atau psyche. Kepercayaan kuno mengatakan bahwa roh atau jiwa
adalah cerminan dari orang yang mati yang bergerak dari dunia kehidupan dan
kematian. Socrates menyatakan bahwa ruh adalah suatu yang berbeda dengan jasad.
Ia mengemukakan kalau ruh itu mempunyai kecendrungan alamiah kepada kebaikan,
suatu konsep yang kemudian ditentang oleh Aristoteles (Freeman, h 281).[18]
Socrates juga mempunyai pandangan
pribadi tentang tuhan yang mengajak kita untuk berfikir bahwa ia adalah seorang
penerima ruya atau wahyu, apalagi jika dikaitkan dengan dampaknya yang terasa
pada masyarakat Athena.
Ia berhasil mempertahankan
keyakinannya pada wujud Maha Kuasa dan Maha Pencipta alam semsta terhadap pandangan
poytheisme di sekitarnya dengan menggunakan akidah-akidah hokum alam. Ia
menentang pluralitas yang berkembang dalam agama bangsa Yunani sebagaimana yang
tercermin dalam mithologi mereka. Ia menganjurkan bangsa Athena agar berdoa
bagi kebajikan bukan bagi material.
Menurut filsafat Socrates segala
sesuatu kejadian yang terjadi di alam adalah karena adanya akal yang mengatur, yang
tidak lalai dan tidak tidur. Akal yang mengatur itu adalah Tuhan yang pemurah.
Dia bukan benda, hanya wujud yang rohani semata-mata. Pendapat Socrates tentang
Tuhan lebih dekat kepada akidah tauhid. Dia menasehatkan supaya orang menjaga
perintah-perintah agama, jangan menyembah berhala dan mempersekutukan Tuhan.[19]
Sedangkan tentang mengenal diri Socrates menjadikan pedoman
seperti pada pepatah yang berbunyi : “ kenalilah dirimu dengan dirimu sendiri ”
( Gnothisauton ). Pepatah ini dijadikan oleh Socrates jadi pokok filsafatnya.
Socrates berkata : manusia hendaknya mengenal diri dengan dirinya sendiri,
jangan membahas yang diluar diri, hanya kembalilah kepada diri. Manusia selama
ini mencari pengetahuan diluar diri. Kadang – kadang dicarinya pengetahuan itu
didalam bumi, kadang – kadang diatas langit, kadang – kadang didalam air,
kadang – kadang diudara. Alangkah baiknya kalau kita mencari pengetahuan itu
pada diri sendiri. Dia memang tidak mengetahui dirinya, maka seharusnya dirinya
itulah yang lebih dahulu dipelajarinya, nanti kalau dia telah selesai dari
mempelajari dirinya, barulah dia berkisar mempelajari yang lain. Dan dia tidak
akan selesai selama – lamanya dari mempelajari dirinya. Karena pada dirinya itu
akan didapatnya segala sesuatu, dalam dirinya itu tersimpul alam yang luas ini.[20]
Socrates selalu mengakui bahwa dia adalah seorang yang
bodoh. Sebab dia belum mengenal dirinya sendiri. Dia tidak akan dapat
mengetahui sesuatu apapun kecuali kalau dia telah mengetahui dirinya sendiri.
Sebab itu haruslah dia mengenal dirinya lebih dulu. Maka dijadikanlah diri
manusia oleh Socrates jadi sasaran filsafat, dengan mempelajari substan dan
sifat – sifat diri itu. Dengan demikian menurut Socrates filsafat hendaklah
berdasarkan kemanusiaan, atau dengan lain perkataan, hendaklah berdasarkan
akhlak dan budi pekerti.[21]
Berdasar asumsi Socrates tentang
adanya kesejajaran antara cara hidup atau tipe manusia dan tipe masyarakat,
Socrates membedakan tipe manusia (jiwa manusia dan cara hidup) menjadi tiga,
yakni; a) akal budi (reason), b) semangat (spirit), dan c) nafsu (desire).
Ketiga tipe itu akan mencapai puncaknya di bawah pengarahan akal budi dan
kemudian keadilan dalam masyarakat akan terwujud apabila masyarakat melakukan
secara baik apa saja yang sesuai kemampuan dengan arahan dari yang paling
bijaksana (akal budi/filsof).[22]
Jika di atas adalah tipe manusia,
maka dari 3 tipe tersebut Socrates membagi masyarakat menjadi tiga kelas,
yakni; a) pedaganag yang bekerja mencari uang sebanyak-banyaknya (nafsu), b)
prajurit yang bekerja memelihara tata masyarakat (semangat), c) filosof yang
berfungsi sebagai penguasa (akal budi).[23]
Berdasar asumsi adanya kesejajaran
antara cara hidup manusia dan tata masyarakat itu pula, Socrates membedakan
rezim menjadi lima tipe.Pertama, Aristokrasi. Dikatakan rezim terbaik karena
diperintah oleh raja yang bijaksana (filosof). Rezim ini dijiwai dengan akal
budi. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa hanya yang bijaksana (filosof)
yang mampu mengarahkan masyarakat dengan baik dan optimal. Kedua, Timokrasi.
Merupakan rezim terbaik kedua, karena dipimpin oleh mereka yang menyukai
kehormatan dan kebanggaan, yakni prajurit (militer). Rezim ini dijiwai dengan
semangat (spirit). Ketiga, Oligarki. Dipimpin oleh kelompok kecil yang memiliki
kekataan melimpah seperti pengusaha/pedagang/saudagar. Rezim ini dijiwai dengan
keinginan yang perlu (necessary desire). Keempat, Demokrasi.[24]
Dikategorikan sebagai rezim yang dipimpin oleh banyak orang yang hanya
mengandalkan kebebasan atau keinginan yang tak perlu (unnecessary desire).
Kelima, Tirani. Sebagai rezim terburuk yang pernah ada, karena dipimpin oleh
seorang tiran yang memerintah sekehandak nafsunya (unlawful desire). Seorang
tidak tidak memiliki kontrol atas dirinya, tidak ada keadilan dalam rezim ini.
BAB
III
KESIMPULAN
1. Socrates lahir di Athena sekitar tahun
470 SM dan meninggal pada tahun 399 SM. Ayahnya bernama Sophroniscos dan ibunya
bernama Phainarete. Socrates
merupakan musuh utama dari kaum sofis yang selalu mengandalkan retorika dalam
berpolitik dan membagikan ilmunya. Hal ini karena Socrates menolak pandangan bahwa
“pengetahuan adalah relatif kebenarannya, tidak ada
pengetahuan yang bersifat umum”. Akibatnya Socrates diadili dengan dua
tuduhan yaitu pertama, ia dianggap meniadakan dewa-dewa yang diakui oleh negara
(Yunani). Kedua, ia dianggap menyesatkan dan merusak jiwa pemuda Yunani.
Pendakwa memutuskan menghukum mati Socrates dengan disuruh meminum racun
cemara.
2. Pemikiran-pemikiran
Socrates hanya dapat kita ketahui dari goresan murid-muridnya terutama Plato
dalam diskusi-diskusinya. Diantara pemikiran Socrates adalah:
a. Cara dia berfilsafat dengan
mengejar satu definisi absolut atas satu permasalahan melalui satu Dialektika.
b. Kebenaran umum itu memang ada maksudnya kebenaran itu tidak
relatif tetapi objektif.
c. Menurut
Socrates, orang yang berpengetahuan akan dengan sendirinya berbudi baik. Apabila
budi adalah tahu, berdasarkan timbangan yang benar, maka jahatnya dari orang
yang tidak mengetahui karena tidak mempunyai pertimbangan atau penglihatan yang
benar.
d. Manusia
dapat mencapai kebahagiaan dengan arête atau virtue yakni
keutamaan (moral).
e. Menurut Socrates ruh adalah suatu yang berbeda dengan
jasad. Ia mengemukakan kalau ruh itu mempunyai kecendrungan alamiah kepada
kebaikan,
f.
Menurut
filsafat Socrates segala sesuatu kejadian yang terjadi di alam adalah karena
adanya akal yang mengatur, yang tidak lalai dan tidak tidur. Akal yang mengatur
itu adalah Tuhan yang pemurah.
g. Menurut
Socrates alangkah baiknya kalau kita mencari pengetahuan itu pada diri sendiri.
Manusia tidak akan dapat mengetahui sesuatu apapun kecuali kalau dia telah
mengetahui dirinya sendiri
h. Berdasar
asumsi Socrates tentang adanya kesejajaran antara cara hidup atau tipe manusia
dan tipe masyarakat, Socrates membedakan tipe manusia (jiwa manusia dan cara
hidup) menjadi tiga, yakni; a) akal budi (reason), b) semangat (spirit), dan c)
nafsu (desire).
i.
Socrates membagi masyarakat menjadi
tiga kelas, yakni; a) pedaganag yang bekerja mencari uang sebanyak-banyaknya
(nafsu), b) prajurit yang bekerja memelihara tata masyarakat (semangat), c)
filosof yang berfungsi sebagai penguasa (akal budi)
j.
Socrates membedakan rezim menjadi
lima tipe, yaitu: Aristokrasi, Timokrasi, Oligarki, Demokrasi, dan Tirani.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti,
Rahmani. 1999. Dunia Sophi Sebuah Novel Filsafat. Bandung: Mizan
Bertens,
Kees. 1975. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius
Hatta,
Mohammad. 1986. Alam Pikiran Yunani. Jakarta: UI-Press
Mustansyir,
Rizal. 2001. Filsafat Analitik Sejarah, Perkembangan, dan Peran Para
Tokohnya. Yogyakarta: Pustaka Belajar
Pasaribu,
Saut. 2002. Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya
Shaleh,
Abdul Qodir. 2005. Sejarah Psikologi dari Masa Kelahiran Sampai Masa Modern.
Jogjakarta: Prismasophie
Tafsir,
Ahmad. 1994. Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai James.
Bandung: Remaja Rosdakarya
Waris.
2009. Filsafat Umum. Ponorogo: STAIN Po Press
Hadi,
Socrates (470-399 SM),http://filsafat.kompasiana.com/2010/07/30/socrates-470-399-sm/
, diakses 14 April 2012
Socrates,
Jalan Pemikiran Socrates, http://socratesngulak.blogspot.com/2010/03l
diakses 14 April 2012
No comments:
Post a Comment
terimakasih telah berkunjung ke blog saya, jangan lupa tinggalkan komentar ya sahabat :)