BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Filsafat merupakan suatu ilmu pengetahuan yang bersifat ekstensial
artinya sangat erat hubungannya dengan kehidupan kita sehari-hari. Bahkan,
dapat dikatakan filsafatlah yang menjadi motor penggerak kehidupan kita
sehari-hari sebagai manusia pribadi maupun sebagai manusia kolektif dalam
bentuk suatu masyarakat atau bangsa. Dalam konteks filsafat hidup, orang selalu
mempertimbangkan hal-hal yang penting sebelum menetapkan keputusan untuk
berperilaku.
Makalah ini kami susun berdasarkan Tugas Mata Kuliah filsafat Umum,
dengan sub bahasan “ Filsafat Axiologi”. Makalah ini dititik beratkan pada
sifat subyektif atau obyektif.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian aksiologi?
2.
Apa sajakah teori-teori tentang nilai?
3.
Apa pengertian etika dan estetika?
C.
Tujuan Pembahasan
Tujuan dari
makalah ini adalah:
1.
Untuk mengetahui pengertian aksiologi.
2.
Untuk mengetahui teori-teori tentang nilai.
3.
Mengetahui pengertian etika dan estetika.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Aksiologi
Aksiologi
mempunyai beberapa pengertian, yaitu sebagai berikut:
1.
Aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti
nilai dan logos yang berarti teori. Jadi Aksiologi adalah “teori tentang
nilai”.
2.
Arti aksiologi dalam bukunya Jujun S. Suriasumantri Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Populer bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai
yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
3.
Menurut Bramel, aksiologi terbagi menjadi tiga bagian. Pertama,
moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus,
yakni etika. Kedua, esthetic exspression, yaitu ekspresi keindahan.
Bidang ini melahirkan keindahan. Ketiga, sosio-political life, yaitu
kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosio-politik.
4.
Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan, aksiologi
disamakan dengan value and valuation. Ada tiga bentuk value and
valuation.
a.
Nilai, digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang
lebih sempit seperti, baik, menarik, dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang
lebih luas mencakupi sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran, dan
kesucian.
b.
Nilai sebagai kata benda konkrit. Contohnya ketika kita berkata
sebuah nilai atau nilai-nilai, ia sering kali dipakai untuk merujuk kepada
sesuatu yang bernilai, seperti nilainya, nilai dia, dan sistem nilai dia.
Kemudian dipaki untuk apa-apa yang memiliki nilai atau bernilai sebagaimana
berlawanan dengan apa-apa yang tidak dianggap baik atau bernilai.
c.
Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai,
memberi nilai, dan dinilai. Menilai umumnya sinonim dengan evaluasi ketika hal
tersebut secara aktif digunakan untuk menilai perbuatan. Dewey membedakan dua
hal tentang menilai, ia bisa berarti menghargai dan mengevaluasi.[1]
Jadi,
aksiologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang orientasi atau nilai
suatu kehidupan. Aksiologi disebut juga teori nilai, karena ia dapat menjadi
sarana orientasi manusia dalam usaha menjawab suatu pertanyaan yang amat
fundamental. [2]
B.
Teori-teori tentang Nilai
Teori umum tentang nilai bermula dari perdebatan antara Alexius
Meinong dengan Cristian von Ehrenfels pada tahun 1890-an berkaitan dengan
sumber nilai. Meinong memandang bahwa sumber nilai adalah perasaan (feeling),
atau perkiraan atau kemungkinan adanya kesenangan terhadap suatu objek.
Ehrenfels (juga Spinoza) melihat bahwa sumber nilai adalah hasrat/keinginan
(desire). Suatu objek menyatu dengan nilai melalui keinginan actual atau yang
memungkinkan, artinya suatu objek memiliki nilai karena ia menarik. Menurut
kedua pendapat tersebut, nilai adalah milik objek itu sendiri- objektivisme
aksiologis.
1.
Objektivisme atau Realisme Aksiologi
Menurut
pandangan ini, penetapan nilai merupakan sesuatu yang dianggap objektif.
Objektif di sini dalam arti bahwa nilai-nilai itu dapat didukung oleh
argumentasi cermat dan rasional konsisten sebagai yang terbaik dalam situasi
itu. Nilai, norma, ideal, dan sebagainya merupakan unsur atau benda yang berada
pada realitas objektif (kata Alexander); atau ia dianggap berasal dari suatu
objek melalui ketertarikan (kata Spinoza). Penetapan suatu nilai memiliki
makna, yakni benar atau salah, meskipun penilaian itu tidak dapat dijelaskan
melalui suatu istilah tertentu.
Nilai-nilai
seperti kebaikan, kebenaran, keindahan itu ada dalam dunia nyata dan dapat
ditemukan sebagai entitas-entitas, kualitas-kualias, atau hubungan nyata, dalam
bentuk (rupa) yang sama sebagaimana kita dapat menemukan objek-objek,
kualitas-kualitas, atau hubungan-hubungan seperti meja, merah. Pendukung
objektivisme aksiologis mencakup Plato, Aristoteles, St. Thomas Aquinas,
Maritain, Rotce, Urban, Bosanquet, Whitehead, Joad, Spauling, Alexander dll.[3]
2.
Subjektivisme Aksiologis
Subjektivisme
aksiologis cenderung mengabsahkan teori etika yang disebut hedonisme, sebuah
teori yang menyatakan kebahagiaan sebagai kriteria nilai, dan naturalisme yang
meyakini bahwa suatu nilai dapat direduksi ke dalam suatu pernyataan
psikologis. Nilai tergantung pada dan berhubungan denan pengalaman menusia
tentangnya; nilai tidak memiliki relitas yang independen. Yang ditekankan dalam
relativisme aksiologis adalah keyakinan bahwa nilai termasuk nilai moral,
terkait dengan budaya, lingkungan, dan factor-faktor lain yang melingkupinya.
Tokoh pendukung
subjektivisme aksiologis adalah Hume, Perry, Prail, Parker, Santayana, Sartre
dll.
3.
Relasionisme Aksiologis
Pandangan ini
berasal dari teori yang menyatakan bahwa nilai adalah hubungan saling terkait
antara variabel-variabel atau sebuah produk dari variabel-variabel yang saling
berinteraksi. Nilai tidak bersifat privat (subjektif), tetapi bersifat public,
meskipun tidak bersifat objektif dalam arti terlepas dari berbagai kepentingan.
Pendukung
relasionisme aksiologis adalah Dewey, Pepper, Ducasse, Lepley, dll.
4.
Nominalisme atau Skeptisisme (Emotivisme Aksiologis)
Teori yang
didasarkan pada pandangan ini mengatakan bahwa penentuan nilai adalah ekspresi
emosi atau usaha untuk membujuk. Yang semuanya itu tidak factual. Ilmu tentang
nilai (aksiologi) adalah mustahil.
Catatan sejarah
menyebutkan asal mula emotivisme, yaitu berasal dari logika positivisme: bahwa
nilai adalah sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dan bersifat emotif, meski
memiliki makna secara factual. Nilai sama sekali tidak dapat digambarkan
sebagai keadaan suatu subjek, objek, ataupun sebagai hubungan.
Pendukung
emotivisme aksiologis adalah Nietzsche, Ayer, Russel, Stevenson, Schlick,
Carnap, dll.
5.
Nilai dan Kebaikan
Filsafat nilai
pada zaman modern (Max Scheler) yang bermula dari Lotze membuat pembedaan tajam
antara nilai dan kebaikan. Menurut padangan ini berbagai “kebaikan” merupakan
milik tatanan eksistensial. Sedangkan nilai-nilai bertentangan dengan tatanan
ini dalam “kemandirian mutlak” (mutlak independent) dan menentukan bidangnya
sendiri.
Di sini kita
bertemu dengan sejenis ide nilai Platonis yang sangat mencolok, karena
nilai-nilai dalam arti ini dipikirkan sebagai ide-ide dari dunia lain yang
dapat diperkenalkan kepada dunia nyata dengan peralatan manusia. Pandangan ini
dinamakan teori “Idealisme nilai” sedangkan lawannya adalah realisme nilai atau
lebih baik, metafisika nilai, yang mengatasi pemisahan nilai dari yang ada
(al-mawjud).[4]
6.
Segi metafisik
Menegaskan sisi
metafisik dari nilai itu perlu karena beberapa pemikir condong menganggap
eksistensi dalam arti positivisme yakni hanya sebagai realitas yang dialami
sekarang tanpa meneliti keharusan yang paling hakiki.
Pada dasarnya
nilai dapat dianggap sebagai eksistensi (wujud) sendiri sejauh eksistensi
berarti kesempurnaan karena isi objektifnya dan karena merupakan daya tarik
bagi hasrat atau keinginan.
7.
Nilai dan Persepsi
Ciri khusus
dari presepsi nilai kita, tergantung pada sifat hakiki nilai itu sendiri. Kalau
nilai terpisah dari eksistensi, nilai sama sekali tidak dapat dimasuki oleh
akal manusiawi yang tertuju pada eksistensi. Berdasarkan kenampakannya yang
hanya kepada perasaan emosional, nilai dibagi menjadi dua jenis yaitu
irasionalisme-nilai dan rasionalisme-nilai (mereduksi ciri khusus nilai pada
eksistensinya saja).
Diantara kedua
ekstrim ini terdapat hal seperti : persepsi intelektual terhadap nilai. Dalam
pandangan ini, nilai dilihat dengan intelek karena objek intelek adalah yang
ada dan yang ada menurut kodratnya bernilai. Namun, pandangan ini tidak dapat
menjadi penjelasan menyeluruh mengenai nilai. Karena, nilai menyempurnakan yang
ada dan karenanya hanya menemukan jawaban yang seluruhnya sesuai dengan yang
ada bilamana nilai juga berkaitan dengan emosi-emosi dan dengan kehendak.
Karena itu persepsi nilai intelektual selalu dikondisikan oleh emosi dan
hasrat.
8.
Nilai dan Non-Nilai
Pertentangan
antara nilai dan non-nilai dan prioritas satu nilai atas nilai yang lain
merupakan soal-soal lain dari soal nilai seluruhnya. Nilai didasarkan atas
tatanan yang ada dan kegiatan insane yang diukur oleh nilai. Penyimpangan dari
tatanan yang ada berarti non-nilai dan akhirnya mengarah kepada kesalahan
moral. Sehubungan dengan prioritas satu nilai atas nilai yang lainnya, derajat
nilai bertautan dengan derajat yang ada. Pada bidang yang lebih resmi, dibuat
pembedaan antara nilai pribadi, nilai kesenangan, dan nilai kegunaan.
Nilai pribadi
dicari demi kepentingan nilai itu sendiri. Nilai kesenangan tergantung pada
nilai pribadi dan tatkala dimiliki nilai itu menghasilkan kebahagiaan. Nilai
kegunaan membantu nilai pribadi sebagai alat menuju tujuan. Nilai urutan naik:
ekonomi, fisik, rohani (yang benar, yang indah, yang baik secara moral),
nilai-nilai religious( yang suci; kudus; sacral; transcendental; perennial).
Urutan prioritas ini didasarkan atas tatanan yang ada dimana nilai-nilai
religious menduduki tempat tertinggi. Karena, nilai-nilai religious langsung
berkaitan dengan kebaikan tak terbatas (Allah).
9.
Nilai instrumental
Nilai instrumental mempunyai beberapa pengertian:
1.
Nilai yang dimiliki suatu hal dalam menghasilkan akibat-akibat atau
hasil-hasil yang diinginkan.
2.
Suatu nilai yang dikenakan pada suatu yang digunakan sebagai alat
yang memperoleh suatu yang diinginkan atau dapat diinginkan. Nilai instrumental
tidak perlu menjadi nilai instrinsik, tetapi dapat menjadi nilai netral tau
bahkan secara instrinsik tidak bernilai.
10.
Nilai Utilitarian
Beberapa pengertian:
1.
Nilai yang dipunyai oleh suatu hal yang berguna bagi penuhan sebuah
tujuan.
2.
Nilai yang dimiliki suatu hal dalam memajukan kebaikan terbesar
dari jumlah besar.[5]
3.
Etika dan Estetika
Masalah yang paling banyak dibicarakan antara lain mengenai
kebaikan perilaku, keindahan karya seni, dan kekudusan atau kesucian religius.
Adapun masalh yang akan dikemukakan disini adalah pendapat dari Langeveld,
bahwa aksiologi terdiri atas dua hal utama, yaitu etika dan estetika. Keduanya
merupakan masalah yang paling banyak ditemukan dan dianggap penting dalam
kehidupan sehari-hari.
a.
Etika
Etika adalah
bagian filsafat nilai dan penilaian yang membicarakan perilaku orang. Semua
perilaku mempunyai nilai dan tidak bebas dari penilaian. Jadi tidak benar suatu
perilaku dikatakan etis dan tidak etis. Lebih tepat, perilaku adalah beretika
baik atau beretika tidak baik. Sejalan dengan perkembangan penggunaan bahasa
yang berlaku sekarang, istilah tidak etis dan tidak etis tidak baik untuk hal
sama. Demikian juga etis dan etis baik.
Perlu diingat,
bahwa pada banyak wacana dalam hal perilaku ini digunakan istilah baik dan
jahat untuk etika karena perbuatan manusia yang tidak baik akan berarti
merusak, sedangkan perbuatan yang baik akan berarti membangun.
Dalam Craig
(2005), menurut Crisp ada beberapa etika falsafiah yang bersifat luas dan umu,
serta berupaya untuk mendapatkan prinsip-prinsip umum atau
keteerangan-keterangan dasar mengenai moralitas, cenderung lebih menfokuskan
pada analisis atas masalah sentral pada etika itu sendiri. Misalnya, masalah
otonomi. Perhatian terhadap pemerintahan sejajar dengan masalah-masalah yang
menyangkut diri (self), hakikat moral, dan relasi etis masalah lain. Topic lain
juga termasuk masalah ini adalah ideal moral, makna pahala, responsibilitas
moral.
b.
Estetika
Estetika
merupakan bagian aksiologi yang membicarakan permasalahan (Russel),
pertanyaan (Langer), atau issues (Farber) mengenai kehidupan,
menyangkut ruang lingkup, nilai, pengalaman, perilaku, dan pemikiran seniman,
seni, serta persoalan estetika dan seni dalam kehidupan manusia (The Liang Gie,
1976).[6]
Dalam
Craig (2005), Marcia Eaton menyatakan, bahwa konsep-konsep estetika merupakan
konsep-konsep yang berkaitan dengan deskripsi dan evaluasi objek serta kejadian
artistic dan esteika. Emund Burke dan David Hume pernah membicarakan masalah estetika
ini dengan cara menjelaskan konsep estetika secara empiric, yaitu dengan cara
mengamati respons psikologis dan fisik yang dapat membedakan individu satu
dengan yang lainnya untuk objek dan kejadian berbeda. Mereka berupaya untuk
melihat estetika ini dalam sudut pandang objektif. Sebaliknya, Immanuel Kant
berpendapat, bahwa konsep estetika itu bersifat subjektif, tetapi ia menyatakan
bahwa pada taraf dasar manusia secara universal memiliki perasaan yang sama
terhadap apa yang membuat mereka nyaman dan senang ataupun menyakitkan dan
tidak nyaman.
Konsep estetika
merupakan konsep-konsep yang berasosiasi dengan istilah-istilah yang mengangkat
kelengkapan estetik yang mengacu pada deskripsi dan evaluasi mengenai
pengalaman-pengalaman yang melibatkan objek, serta kejadian artistik, dan
estetik.
KESIMPULAN
1.
Aksiologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang
orientasi atau nilai suatu kehidupan. Aksiologi disebut juga teori nilai,
karena ia dapat menjadi sarana orientasi manusia dalam usaha menjawab suatu
pertanyaan yang amat fundamental
2.
Teori-teori dalam aksiologi:
a.
Objektivisme atau Realisme aksiologis
b.
Subjektivisme aksiologis
c.
Relasionisme Aksiologis
d.
Nominalisme atau Emitivisme Aksiologis
e.
Nilai dan Kebaikan
f.
Segi Metafisik
g.
Nilai dan Persepsi
h.
Nilai dan Non-Nilai
i.
Nilai Instrumental
j.
Nilai Utilitarian
3.
Etika adalah bagian filsafat nilai dan penilaian yang membicarakan
perilaku orang. Sedangkan Estetika merupakan bagian aksiologi yang membicarakan
permasalahan, pertanyaan, atau issues mengenai kehidupan, menyangkut ruang lingkup,
nilai, pengalaman, perilaku, dan pemikiran seniman, seni, serta persoalan
estetika dan seni dalam kehidupan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Adib, Mohammad.
2011. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Belajar
Bakhtiar, Amsal. 2005. Filsafat Ilmu. Jakarta: Raja Grafindo
Persada
Faruk, Ahmad. 2006. Traktat Filsafat Umum Penelusuran Tematis.
Ponorogo: STAIN Po PRESS
________. 2009. Filsafat Umum: Sebuah Penelusuran Tematis. Ponorogo:
STAIN Po Press
No comments:
Post a Comment
terimakasih telah berkunjung ke blog saya, jangan lupa tinggalkan komentar ya sahabat :)