PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebagai umat Islam sebagaimana telah diketahui bersama bahwa yang
digunakan sebagai sumber hukum dalam melaksanakan perbuatan yang mencakup
ibadah maupun muamalah adalah Al-Qur’an dan Hadits. Alquran adalah kitab suci yang diwahyukan
kepada Nabi Muhammad SAW yang mengandung petunjuk-petunjuk bagi umat manusia.
Al-Qur’an diturunkan untuk menjadi pegangan bagi mereka yang ingin mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat. Ia tidak diturunkan hanya untuk suatu umat atau
untuk suatu abad, tetapi untuk umat manusia dan untuk sepanjang masa, karena
itu luas ajaran-ajarannya adalah sama dengan luasnya umat manusia. Di dalam
alquran terkumpul wahyu ilahi yang menjadi petunjuk, pedoman dan pelajaran bagi
siapa yang mencapai serta mengamalkannya.
Salah satu isi dari firman Allah adalah tentang anjuran
kepada umat manusia untuk memakan makanan yang halal lagi baik (thayyib),
serta memakan makanan yang haram lagi membahayakan. Segala sesuatu yang ada di
bumi ini adalah halal dimakan agar mencukupi kebutuhan hidup manusia kecuali
ada beberapa jenis yang diharamkan oleh agama sebagaimana yang tercantum di
dalam alquran dan hadis Nabi. Hal
tersebut telah dijelaskan dalam surat al-baqarah 168 dan 172 serta al-tawbah
34. Lebih jelasnya lagi akan dibahas dalam makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana bunyi ayat dan tarjamah dari Surat Al-Baqarah ayat 168,
172 dan Al-Tawbah ayat 34 ?
2.
Bagaimana penjelasan kosa kata dalam Surat Al-Baqarah ayat 168, 172
dan Al-Tawbah ayat 34 ?
3.
Bagaimana Asbāb al-Nuzūl dari Surat Al-Baqarah ayat 168,
172 dan Al-Tawbah ayat 34 ?
4.
Bagaimana munāsabah dari Surat Al-Baqarah ayat 168, 172 dan
Al-Tawbah ayat 34 ?
5.
Apa saja kandungan ayat yang terdapat dalam Surat Al-Baqarah ayat
168, 172 dan Al-Tawbah ayat 34 ?
PEMBAHASAN
A.
Surat Al-Baqarah 168 dan 172 ( Perintah Mencari Rezki yang Halal)
1.
Al-Baqarah: 168
يَا أَيُّهَا النَّاسُ
كُلُوا مِمَّا فِي اْلأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَّلَا تَتَّبِعُوْا
خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Artinya :
“Wahai
manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang
nyata bagimu.”[1]
v
Kosa kata
Arti |
Lafadz |
Arti |
Lafadz |
dan janganlah kalian mengikuti |
وَّلَا تَتَّبِعُوْا |
wahai |
يَا أَيُّهَا |
langkah-langkah |
خُطُوَاتِ |
manusia |
النَّاسُ |
Setan |
الشَّيْطَانِ |
makanlah |
كُلُوا |
sesungguhnya dia |
إِنَّهُ |
dari apa yang |
مِمَّا |
bagi kalian |
لَكُمْ |
di bumi |
فِي اْلأَرْضِ |
musuh |
عَدُوٌّ |
halal |
حَلَالًا |
yang nyata |
مُبِينٌ |
baik |
طَيِّبًا |
v
Asbāb al-Nuzūl
Abdullah
ibnu Abbas mengatakan, bahwa ayat ini turun berkenaan dengan sikap suatu kaum
yang terdiri dari Bani Saqif, Bani Amir ibnu Sāsa’ah, Khūza’ah dan Bani
Mudlaj. Mereka menyatakan haram untuk diri mereka
sendiri berbagai jenis makanan, seperti daging ternak, ikan laut, dan lain
sebagainya.[2]
v
Munāsabah
Dalam
ayat 165 dan 167 Al-Baqarah telah diterangkan nasib orang yang mempersekutukan
Tuhan yang telah menetapkan hukum-hukum dan mengharamkan apa yang tidak
diharamkan Allah, dan membuat peraturan-peraturan menurut hawa nafsu mereka dan
mengikuti langkah-langkah setan.
Tentang langkah-langkah syaitan itu,
menurut riwayat dari Ibnu Abi Halim dari tafsiran Ibnu Abbas :[3]
“Apa sajapun yang menyalahi isi al-Quran itu
adalah langkah-langkah syaitan.”
ﺣَﻼَﻻً
(Halalan) terambil dari kata halla yahillu
hallan wa halalan yang berarti menjadi boleh. Dari kata ini diperoleh
pengertian “membolehkan sesuatu”. Maksud kata halalan dalam ayat ini
adalah menjelaskan kesalahan orang musyrik. Mekah yang telah mengharamkan
berbagai kenikmatan yang sebenarnya tidak diharamkan Allah. Maka kata halalan
diberi kata sifatﻁَﻴِّﺑًﺎ (tayyiban), artinya makanan
yang dihalalkan Allah adalah makanan
yang berguna bagi tubuh, tidak merusak, tidak menjijikkan, enak, tidak
kadaluarsa, dan tidak bertentangan dengan perintah Allah, karena tidak
diharamkan, sehingga kata tayyiban menjadi alasan dihalalkannya sesuatu.[4]
v
Kandungan Ayat
Dalam surat
Al-Baqarah ayat 168 dijelaskan bahwa manusia harus mencari makanan yang halal
lagi baik. Makanan yang halal ialah lawan dari yang haram; yang haram telah
pula disebutkan dalam al-Qur’an, yaitu yang tidak disembelih, daging babi,
darah, dan yang disembelih untuk berhala.
Riwayat
yang disampaikan oleh Ibnu Mardawaihi daripada Ibnu Abbas, bahwa tatkala ayat
ini dibaca orang dihadapan Nabi SAW, yaitu ayat: ”Wahai seluruh manusia,
makanlah dari apa yang di bumi ini, yang halal lagi baik,” maka berdirilah
sahabat Rasulullah yang terkenal, yaitu Sa’ad bin Abu Waqash. Dia memohon
kepada Rasulullah supaya beliau memohon kepada Allah agar apa saja permohonan
doa yang disampaikannya kepada Allah, supaya dikabulkan oleh Allah. Maka
berkatalah Rasulullah SAW : ”Wahai Sa’ad ! Perbaikilah makanan engkau,
niscaya engkau akan dijadikan Allah seorang yang makbul doanya. Demi Allah,
yang jiwa Muhammad ada dalam tanganNya, sesungguhnya seorang laki-laki yang
melemparkan suatu suapan yang haram ke dalam perutnya, maka tidaklah akan
diterima amalnya selama empatpuluh hari. Dan barangsiapa
di antara hamba Allah yang bertumbuh dagingnya dari harta haram dan riba, maka
api lebih baik baginya.”
Artinya, lebih
baik makan api daripada makan harta haram. Sebab api dunia belum apa-apa jika
dibandingkan dengan api neraka.
Penting sekali
peringatan ini, kecurangan-kecurangan, penipuan dan mengelabui mata yang bodoh,
banyak ataupun sedikit adalah hubunganya dengan perut asal berisi. Berapa
perbuatan curang terjadi di atas dunia ini oleh karena mempertahankan syahwat
perut. Maka apabila manusia telah mengatur makan minumnya, mencari dari sumber
yang halal, bukan dari penipuan, bukan dari apa yang di zaman modern ini
dinamai korupsi, maka jiwa akan terpelihara daripada kekasarannya.
Kemudian
diperingatkan pula supaya jangan menuruti langkah-langkah yang digariskan oleh
syaitan. Sebab syaitan adalah musuh yang nyata bagi manusia. Kalau syaitan
mengajakkan satu langkah, pastilah itu langkah membawa ke dalam kesesatan.
Tentang langkah-langkah Syaitan itu,
menurut riwayat dari Ibnu Abi Hatim apapun yang menyalahi isi al-Qur’an.
Menurut tafsiran dari Ikrimah: langkah-langkah syaitan ialah segala rayuan
syaitan. Menurut Qatadah, segala maksiat yang dikerjakan.menurut Said bin
Jubair ialah segala perbuatan buruk yang dibagus-baguskan Syaitan.[5]
2.
Al-Baqarah: 172
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ
كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
Artinya :
“Wahai
orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan
kepada kamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.”[6]
v Kosa
kata
Arti |
Lafadz |
Arti |
Lafadz |
Dan bersyukurlah |
وَاشْكُرُوا |
wahai |
يَا أَيُّهَا |
Kepada Allah |
لِلَّهِ |
Orang-orang yang |
الَّذِينَ |
Jika |
إِنْ |
Beriman |
آمَنُوا |
Kalian |
كُنْتُمْ |
Makanlah |
كُلُوا |
Kepada-Nya |
إِيَّاهُ |
Dari yang baik-baik |
مِنْ طَيِّبَاتِ |
Menyembah |
تَعْبُدُونَ |
Apa yang kami rezekikan pada kalian |
مَا رَزَقْنَاكُمْ |
v
Asbāb al-Nuzūl
Penjelasan
tentang makanan-makanan yang diharamkan tersebut dikemukakan dalam konteks
mencela masyarakat Jahiliyah, baik di Mekkah maupun di Madinah, yang
memakannya. Mereka misalnya membolehkan memakan binatang yang mati tanpa
disembelih dengan alasan bahwa yang disembelih atau dicabut nyawanya oleh
manusia halal, maka mengapa haram yang dicabut sendiri nyawanya oleh Allah?
Penjelasan tentang keburukan ini dilanjutkan dengan uraian ulang tentang mereka
yang menyembunyikan kebenaran, baik menyangkut kebenaran Nabi Muhammad, urusan
kiblat, haji dan umroh, maupun menyembunyikan atau akan menyembunyikan tuntunan
Allah menyangkut makanan.Orang-orang Yahudi misalnya, menghalalkan hasil suap,
orang-orang Nasrani membenarkan sedikit minuman keras, kendati dalam kehidupan
sehari-hari tidak sedikit dari mereka yang meminumnya dengan banyak.[7]
v
Munāsabah
Seperti
penegasan pada ayat-ayat alquran bahwa Allah adalah Tuhan Yang Satu, Dialah
pencipta alam semesta ini, juga telah dijelaskan siapa saja yang mengambil
Tuhan selain Allah maka dia akan mendapat balasannya yang setimpal. Dan pada
ayat sebelumnya menjelaskan bahwa Allah adalah pemberi rezeki kepada manusia
dan makhluk yang lain, sekaligus Allah menerangkan mana makanan yang halal dan
mana yang haram.
Allah
juga membolehkan manusia seluruhnya memakan makanan yang telah diberikan Allah
di bumi ini, yang halal dan yang baik saja, serta meninggalkan yang haram,
sebab yang haram itu sudah jelas. Juga agar manusia tidak mengikuti
langkah-langkah setan, dalam hal makanan, sebab setan itu adalah musuh mereka.
Oleh sebab itu, setan tidak pernah menyuruh kepada kebaikan. Bahkan dia hanya
menyuruh kepada kejelekan. Dan setan itu juga menyuruh manusia agar
menghalalkan atau mengharamkan sesuatu sesuai dengan kehendak manusia tanpa
perintah dari Allah. Bahkan menyuruh manusia agar mengatakan bahwa itu adalah
syariat Allah, sebagaimana telah dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan
musyrikin Quraisy.
Dalam
al-Baqarah 168-169 dikatakan makanan yang diperbolehkan atau yang halal dari
apa-apa yang terdapat di bumi kecuali yang sedikit yang dilarang karena
berkaitan dengan hal-hal yang membahayakan dan telah ditegaskan dalam nash
syara’ adalah terkait dengan akidah, sekaligus bersesuaian dengan fitrah alam
dan fitrah manusia. Allah menciptakan apa-apa yang ada di bumi bagi manusia.
Oleh sebab itu, Allah menghalalkan apa yang ada di bumi, tanpa ada pembatasan
tentang yang halal ini, kecuali masalah khusus yang berbahaya. Dan apabila yang
di bumi ini tidak dihalalkan maka hal ini melampaui daerah keseimbangan dan
tujuan diciptakannya bumi untuk manusia.
Pada
ayat ini selanjutnya ditujukan kepada kaum muslimin saja supaya menikmati
rezeki Allah yang bermanfaat dan diarahkannya untuk mensyukuri nikmat-nikmat
Allah. Serta dijelaskan kepada mereka apa yang diharamkan atas mereka, yaitu
apa-apa yang tidak baik dan tidak dihalalkan bagi mereka. Kemudian diancamnya
orang-orang Yahudi yang menyanggah mereka mengenai makan yang baik-baik dan
yang haram ini, yang semuanya sudah termaktub dalam kitab mereka.
Pelarangan
tentang akan sesuatu yang tidak baik ini bukan karena Allah menginginkan agar
mereka mengalami kesulitan dan kesempitan mencari rezeki, sebab Allah
sendirilah yang melimpahkan rezeki kepada mereka. Allah menginginkan mereka
agar sebagai hamba bisa mensyukuri apa-apa yang bersal dari Allah dan agar
mereka betul-betul beribadah semata-mata kepada Allah tanpa ada penyekutuan.
Maka Allah mewahyukan kepada mereka bahwa syukur itu adalah termanifestasikan
dengan ibadah dan taat serta ridha dengan apa-apa yang dari Allah (al-baqarah
172).
Kemudian Allah melanjutkan penjelasan tentang apa-apa yang diharamkan dari
makanan dengan suatu bentuk nash yang di batasi dengan penggunaan a’atul qashri
perangkat pembatasan yakni “innamaa”, yaitu bangkai, darah, daging babi, dan
binatang yang (ketika disembelih) disebut suatu (nama) selain Allah.[8]
v
Kandungan Ayat
Di
dalam ayat ini, khitab Allah ditujukan kepada orang-orang yang beriman secara
khusus. Mereka ini akan lebih sensitif pemahamannya, disamping bias menerima
hidayah. Karenanya, Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman agar memakan
barang-barang yang halal dan bersyukur kepada Allah atas karunia yang
dilimpahkan kepada mereka. Kemudian Allah menjelaskan makanan yang diharamkan.
Sebagaimana pemberitahuan, bahwa makanan yang diharamkan itu berjumlah sedikit,
dan kebanyakan makanan yang merupakan ciptaan Allah itu dihalalkan.[9]
Di dalam ayat 172 ditegaskan agar seorang
mukmin makan makanan dari rizki yang baik-baik yang diberikan oleh Allah kepadamu
dan bersyukurlah kepadaNya jika benar benar kamu berbakti kepadaNya.
Yang dimaksud rizki yang baik-baik “At Thayyibat” yaitu rizki yang halal , maka
setiap yang dihalalkan Allah adalah rizki yang baik dan setiap yang diharamkan
adalah rizki yang buruk (khabits). Umar bin Abdul Aziz berkata : yang dimaksud
ayat ini adalah “usaha yang halal, bukan
makanan yang halal. Penafsiran ini diperkuat oleh hadits yang artinya: “Sesungguhnya
Allah itu dzat yang Maha bagus, ia tidak menerima melainkan apa yang bagus, dan
bahwasannya Allah menyuruh orang-orang mukmin sebagaimana ia menyuruh para
rasulNya. Lalu ia membawa (firman Allah)
“Hai Rasul-rasul, makanlah rizki yang baik-baik dan beramallah sholeh”
(QS.23.51) dan ia membaca (firman Allah) “Hai orang-orang yang beriman, makanlah
dari rizki yang baik-baik”, (Al Baqarah, 2:172), kemudian ia menyebut seorang
laki-laki yang lama diperjalanan,
rambutnya kusut, berdebu, menengadah ke langit, Ya Rabbi, Ya Rabbi, sedang
makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan diberi makanan yang
haram, maka mana mungkin (do’anya itu) akan dikabulkan.” (HR. Ahmad, Muslim dan
Tirmidzi)
Allah
telah menyeru orang-orang yang beriman agar menerima hukum syariat Allah, juga
agar mengambil apa yang halal dan meninggalkan yang haram. Dan, Allah
mengingatkan kepada mereka bahwa Dia sematalah pemberi rezeki dan membolehkan
kepada mereka memanfaatkan makanan-makanan yang baik dari apa yang telah Dia
rezekikan. Maka, Allah memberitahu mereka bahwa Dia tidak melarang untuk
mengambil yang baik dari rezeki itu dan Allah melarang hambaNya agar
meninggalkan sesuatu yang tidak baik dari rezeki itu.
Pelarangan
ini bukan karena Allah menginginkan agar mereka mengalami kesulitan dan
kesempitan dalam mencari rezeki, tetapi agar mereka sebagai hamba bisa
mensyukuri apa-apa yang berasal dari Allah dan agar mereka bisa betul-betul
beribadah semata-mata karena Allah tanpa ada penyekutuan.
Di lain pihak, Allah melarang kita
menjadikan sesuatu selain Allah sebagai sekutu-Nya, dan menjadikan sekutu itu
sebagai tempat meminta-minta dan berdo’a ketika membutuhkan rizki, atau
mengembalikan persoalan kepadanya ketika hendak menghalalkan atau mengharamkan
sesuatu. Jika kita tidak mensyukuri nikmat-nikmat tersebut, bararti kita ini
termasuk golongan musyrik dan orang yang ingkar terhadap nikmat-nikmat-Nya.[10]
B.
Surat Al-Tawbah: 34 ( Larangan Menimbun Harta)
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ
آمَنُوا إِنَّ كَثِيْرًا مِنَ الأحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُوْنَ أَمْوَالَ
النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللَّهِ وَالَّذِيْنَ
يَكْنِزُوْنَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُوْنَهَا فِي سَبِيْلِ اللَّهِ
فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيْمٍ
Artinya :
“Hai
orang-orang yang beriman,sesungguhnya banyak dari al-ahbār dan rahib-rahibyang
benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka
menghalang-halangi dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan
perak lagi tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka gembiralah mereka dengan
siksa yang peih.”[11]
v Kosa kata
Arti |
Lafadz |
Arti |
Lafadz |
Dan mereka menghalang-halangi |
وَيَصُدُّوْنَ |
Wahai |
يَا أَيُّهَا |
Dari jalan Allah |
عَنْ سَبِيْلِ اللَّهِ |
Orang-orang yang |
الَّذِينَ |
Dan orang-orang yang |
وَالَّذِيْنَ |
Beriman |
آمَنُوا |
Menyimpan |
يَكْنِزُوْنَ |
Sesungguhnya |
إِنَّ |
Emas |
الذَّهَبَ |
Kebanyakan |
كَثِيْرًا |
Dan perak |
وَالْفِضَّةَ |
Dari ulama-ulama Yahudi |
مِنَ الأحْبَارِ |
Dan mereka tidak menginfakkannya |
وَلَا يُنْفِقُوْنَهَا |
Dan rahib-rahib Nasrani |
وَالرُّهْبَانِ |
Di jalan Allah |
فِي سَبِيْلِ اللَّهِ |
Sungguh mereka memakan |
لَيَأْكُلُوْنَ |
Maka berilah mereka kabar gembira |
فَبَشِّرْهُمْ |
Harta |
أَمْوَالَ |
Dengan azab |
بِعَذَابٍ |
Manusia |
النَّاسِ |
Yang pedih |
أَلِيْمٍ |
Dengan batil |
بِالْبَاطِلِ |
v
Asbāb al-Nuzūl
Ibnu Abbas
menerangkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan para pendeta dari Ahli
Kitab, mereka mengambil suap berupa makanan dari masyarakat awam, sedangkan
pengujung ayat ini diturunkan berkenaan dengan Ahli Kitab dan kaum muslimin
yang menimbun harta mereka. (HR. Ibnu Abi Hatim)
v
Munāsabah
Pada ayat
sebelumnya Allah menjelaskan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani menganggap
pemimpin-pemimpin dan pendeta-pendeta mereka sebagai dewa, padahal mereka
diperintahkan untuk tidak menyembah selain Allah. Orang Yahudi menganggap Uzair
sebagai anak Allah. Demikian pula dengan orang Nasrani menganggap Isa Al-Masih
sebagai anak Allah. Ayat ini menerangkan pula bahwa pemimpin mereka mempunyai
sifat tamak dan mau mengambil harta orang lain secara batil disamping mereka
sangat kikir dan suka menimbun harta.
v
Kandungan Ayat
Pada ayat ini dijelaskan bahwa
kebanyakan pemimpin dan pendeta orang yahudi dan nasrani telah sudah di
pengaruhi oleh cinta harta dan pangkat. Oleh sebab itulah mereka tidak untuk
segan-segan untuk menguasi harta milik orang lain yaitu dengan jalan tidak benar
bahkan menghalalkan dari segala hal-hal yang di larang oleh agama, dan dengan
terang-terangan mangalang-halangi manusia beriman kepada agama yang telah
dibawa oleh Nabi Saw. Sebab apabila mereka membiarkan pengikut mereka
membenarkan dan menerima dakwah islam tentulah mereka tidak dapat lagi bersikap
sewenang-wenang kepadanya.
Adapun
pemimpin-pemimpin dan pendeta Yahudi dan Nasrani upaya yang di lakukan untuk
mendapatkan harta milik orang lain
diantaranya adalah:[12]
1. Mereka
membangun makam nabi-nabi dan pendeta-pendeta dan gereja-gereja yang di namai
dengan nabi-nabi. Dengan hal sedemikian sehinga mereka mendapatkan hadiah nazar
dan wakaf-wakaf yang elah di hadiah kepada mereka.
2. Dan
yang khusus dilakukan oleh nasrani adalah menerima uang dari seseorang sebagai
imbalan yaitu atas pengampunan dosa yang telah di perbuatnya. Dengan syarat
apabila seorang yang berdosa tersebut ia datang ke gereja dan menemui bapak
pendeta dan mengakui di hadapannya semua dosa yang di perbuatnya.
3. Imbalan
memberikan fatwa-fatwa baik menghalalkan yang haram maupun yang mengharamkan
yang halal sesuaian dengan keinginan raja-raja, penguasa-penguasa, dan
orang-orang kaya.
KESIMPULAN
1.
Islam memanggil manusia supaya suka makan hidangan besar yang baik,
yang telah disediakan oleh Allah kepada mereka, yaitu bumi lengkap dengan
isinya, dan kiranya manusia tidak mengikuti kerajaan dan jejak syaitan yang
selalu menggoda manusia supaya mau mengharamkan sesuatu yang telah dihalalkan
Allah, dan mengharamkan kebaikan-kebaikan yang dihalalkan Allah; dan syaitan
juga menghendaki manusia supaya terjerumus dalam lembah kesesatan.
2.
Allah SWT memerintahkan mereka supaya suka makan yang baik dan
supaya mereka suka menunaikan hak nikmat itu, yaitu dengan bersyukur kepada Zat
yang memberi nikmat.
3.
Dilarang
untuk memakan atau mengambil harta
orang lain dengan jalan yang bathil
(tidak benar), karena pada dasarnya perbuatan itu melangar hak milik orang
lain. Mereka kelak akan mendapatkan siksa neraka yang sangat pedih akibat dari
perbuatan mereka yang ketika masih dalam dunia mengumpulkan harta tidak untuk
di jalan kebenaran , tidak untuk di jalan allah.
DAFTAR PUSTAKA
A,
Bustami, Gani, Dkk. Al Qur’an dan Tafsirnya. Departemen R .I : Proyek
Pengadaan Kitab Suci Al Quran, 1984.
Al-Marāghī,
Ahmad Mustofa. Tafsīr Al-Marāghī, Terj. Anshori Umar Sitanggal dkk.
Semarang: Karya Toha Putra, 1987.
Hamka.
Tafsir Al Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002.
Mustafa,
Ahmad. Tafsir Al Marāghī. Semarang: Karya Toha Putra, 1993.
Publishing,
Sukses. Al-qur’an dan Terjemah. Jakarta: PT Dua Sukses Mandiri, 2012.
Quthb,
Sayyid. Tafsīr Fī Dzilālil-Qur’an. Jakarta: Gema Insani, 2000.
RI,
Kementerian Agama. Al-quran dan Tafsirnya. Jakarta: Widya Cahaya, 2011.
Shihab,
M. Quraish. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al Quran. Jakarta:
Lentera Hati, 2002.
[1]
Sukses Publishing, Al-Quran dan Terjemah (Jakarta: PT Dua Sukses
Mandiri, 2012), 26.
[2]Ahmad
Mustofa Al-Marāghī, Tafsīr Al-Marāghī, Terj. Anshori Umar Sitanggal
dkk, Vol. 2 (Semarang: Karya Toha Putra, 1987), 71.
[3] Hamka,
Tafsir Al Azhar, Vol. 2 (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 2002), 64.
[4]
Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Tafsirnya (Jakarta: Widya Cahaya, 2011), 247-248.
[5]
Hamka, Tafsir Al-Ahzar, 62-64.
[6] Publishing,
Al-Qur’an, 27.
[7] M.
Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al Qura, Vol.
1 (Jakarta:Lentera Hati, 2002), 386.
[8]
Sayyid Quthb, Tafsīr Fī Dzilālil-Qur’an, Vol. 1 (Jakarta: Gema
Insani, 2000), 184-186.
[9]
Ahmad Mustafa, Tafsir Al Marāghī (Semarang: Karya Toha Putra, 1993),
80.
[10]
Ahmad Mustafa, 82.
[11]
Shihab, Tafsir Al-Mishbāh, 550-551.
[12]
Bustami A, Gani, Dkk, Al Qur’an dan Tafsirnya (Departemen RI: Proyek
Pengadaan Kitab Suci Al Quran, 1984) 153.