Sunday, December 20, 2015

Unsur-Unsur Puisi

Mengidentifikasi Unsur-Unsur Puisi
Puisi adalah bentuk karya sastra yang paling tua. Puisi mempunyai cirri khas yang berbeda dengan karya sastra lainnya. Pada pokoknya puisi dibangun oleh 2 unsur yaitu:
a.       Struktur fisik, yang berupa bahasa yang digunakan dan merupakan struktur yang membangun puisi. Seperti majas, irama, rima, kata-kata konotasi, dan kata-kata yang bermakna lambing.
b.      Struktur batin (makna), yaitu pikiran dan perasaan yang diungkapkan oleh penyair
1.      Majas
Penyair puisi biasanya menggunakan bahasa yang tersusun-susun atau berfigura sehingga bahasa puisi sering menggunakan bahasa figurative. Bahasa figuratif itu menimbulkan makna kias dan perlambangan. Bahasa kiasan tersebut mempunyai tujuan yaitu menciptakan efek lebih efektif dan sugestif dalam bahasa puisi. Gaya bahasa/ majas yang digunakan penyair antara lain: metafora, perbandingan, personifikasi, hiperbolam sinekdok, dan ironi.
a.       Metafora, adalah kiasan langsung, artinya benda yang dikiaskan itu tidak disebutkan. Contohnya: kambing hitam, lintah darat, bunga bangsa. Di dalam puisi “Surat Cinata” Rendra mengkiaskan diri kekasihnya sebagai putrid duyung. Hal ini dapat and abaca dari bait-bait berikutnya.
b.      Perbandingan, majas ini merupakan kiasan tidak langsung sehingga benda-benda yang dimaksudkan kedua-duanya ada persamaan pengiasnya dan menggunakan kata-kata: bak, bagai, seperti, dan laksana.
c.       Personifikasi, majas ini mengiaskan keadaan atau peristiwa alam sebagai keadaan atau peristiwa yang dialami oleh manusia. Dalam hal ini benda mati dianggap sebagai manusia atau pesona. Tujuan penggunaan majas ini adalah untuk mempertegas atau memperjelas penggambaran peristiwa atau keadaan itu.
d.      Hiperbola, adalah kiasan yang berlebih-lebihan. Penyair merasa perlu melebih-lebihkan hal yang dibandingkan itu mendapatkan perhatian yang lebih seksama dari pembaca.
e.       Sinekdok, majas jenis ini adalah menyebutkan sebagian untuk maksud keseluruhan (parsprototo) atau menyebutkan keseluruhan untuk maksud sebagian (kotemproparte)
f.       Ironi, majas ini menggunakan kata-kata yang bersifat berlawanan untuk memberikan sindiran. Ironi dapat menggunakan kata-kata yang keras dan kasar untuk menyindir atau menggertak. Biasanya majas ini dapat anda temukan dalam puisii yang bertemakan kritik sosial.
g.      Metafora, perbandingan secara implicit untuk melukiskan sesuatu dengan kata atau kelompok kata dengan arti tidak sebenarnya.
h.      Metonimia, memakai nama atau cirri hal yang ditautkan dengan orang, benda, atau sesuatu sebagai penggantinya
i.        Eufemisme, melembut-lembutkan perkataan untuk tidak menyinggung perasaan.
j.        Asidenton,
2.      Irama dan rima
Unsur pokok musikalitas sebuah puisi adalah irama atau ritme. Irama dalam puisi adalah alun suara alam perpaduan panjang pendek, tinggi rendah, dank eras lemah pengucapan kata-katanya. Irama tersebut erat hubungannya dengan corak isi atau jiwa sebuah puisi. Corak isi bersumber atau menggambarkan pikiran, pandangan, dan maksud penyair. Puisi ratapan atau kesedihan, puisi sanjungan kepada Tuhan, maupun puisi sindiran, akan mengalunkan irama yang berbeda-beda. Selain itu irama pengucapan katapun akan berbeda pula, sejalan dengan bagian penting dalam lirik puisi. Bagian penting  biasanya diucapkan lebih keras dan lebih tinggi nadanya.
Misalnya: KU TULISS – SURATT INI
KALA HUJAN GERIMIS
Keterangan: biru= agak lemah
Merah=agak keras
Hitam = keras
Selain irama musikalitas atau orchestra puisi juga dibentuk oleh pengulangan bunyi dalam puisi. Dengan pengulangan bunyi itu puisi menjadi merdu jika dibaca. Untuk keperluan itu penyair akan mempertimbangkan lambang bunyi. Dengan cara ini pemilihan bunyi-bunyi mendukung perasaan dan suasana bunyi. Rima dalam puisi mengandung persamaan bunyi, perpaduan bunyi konsunan dan vocal. Kedua unsur tersebut telah yang akan membangun orkestrasi atau musikalitas. Sebagai contoh dalam sajak “surat cinta” banyak menggunakan bunyi desis yang menciptakan suasana gelisah. Bunyi tersebut dipadu dengan /b/,/t/, dan /r/, yaitu sebagai berikut:
Ku tulis surat ini
Kala hujan gerimis
Bagai bunyi tambur mainan
Anak-anak peri dunia yang gaib
Dan angin mendesah
Mengeluh dan mendesah

Pada baris ke-5 dan ke-6, konsonan (h) mempertegas kegelisahan itu. Perpindahan antara bunyi desis (s) dan (h) dengan menggunakan huruf (n). Anda dapat merasakan bunyi ini sangat merdu dan efektif.

3.      Kata-kata berkonotasi
Penyair dalam menuliskan puisinya sangat cermat dalam memilih kata-kata. Mereka akan mempertimbangkan makna, komposisi bunyi, dalam rima dan irama, kedudukan kata itu di tengah konteks kata lainnya dan kedudukan kata dalam keseluruhan puisi itu. Kata-kata konotatif terkadang memiliki daya sugestif yang tinggi bagi pembacanya. Sebagai contoh untuk mengesankan penghargaan yang tinggi kepada kekasihnya, Rendra melukiskan kekasihnya itu seperti baris puisi berikut ini:
Engkaulah putrid duyung/ kawanku/
Putri duyung dengan suara merdu lembut/
Bagai angin laut/ mendesahlah bagiku

Putri duyung tersebut dapat berkonotasi dengan putri yang cantik karena ada legenda yang menyebutkan bahwa putri duyung berwajah cantik dan bersuara merdu. Apabila anda memaknai putri duyung tersebut sebagai putri duyung sungguhan / siluman maka makna tersebut kurang tepat. Karena dalam dunia nyata tidak ada putrid duyung, jadi Rendra hanya mengibaratkannya saja.

4.      Kata-kata bermakna lambang
Perlambangan dalam puisi digunakan penyair untuk memperjelas makna dan membuat nada dan suasana puisi menjadi lebih jelas. Alasan penyair menggunakan lambang dalam puisi adalah karena penyair merasa bahwa kata-kata dari kehidupan sehari-hari belum cukup untuk mengungkapkan makna yang hendak disampaikan kepada pembaca. Lambang-lambang tersebut digunakan oleh penyair dapat berupa lambang warna, lambang gerak, lambang benda, lambang bunyi, dan lambang suasana. Dalam puisi “surat cinta”, Rendra menggunakan lambang bunyi /i/ yang bernada bahagia yaitu
Kutulis surat ini/ kala hujan gerimis/ bagai bunyi tambur mainan/ anak-anak peri dunia gaib/